A. Pangantar
Cardinal Newman mangatakan, ―Hidup berarti berubah dan hidup panjang berarti sering berubah‖. Pernyataan itu memang benar adanya. Yang mengalami perubahan bukan hanya manusia, tetapi juga masyarakat. Perubahan dapat berlang- sung secara lambat atau secara cepat, evolusioner atau revolusioner. Sementara itu tetap statis berarti mati. Perubahan dapat diuraikan sebagai dialektika yang terus berlangsung antara yang lama dan yang baru, atau antara tradisi dan modernitas. Istilah tradisi dan modernitas menimbulkan kemiringan nilai. Kata ―tradisional‖ dapat membangkitkan gagasan-gagasan konservatisme dan keterbelakangan, sedangkan istilah ―modern‖ menggemakan keprogresifan dan menatap ke depan. Penelitian ini tidak bermaksud untuk membuktikan kemiringan nilai itu, tetapi untuk menyatakan bahwa pembahasan ini menelaah tradisi dengan jelas yang positif sebagai hal yang menghasilkan kontinuitas, kendatipun diperlukan herme- neutika. Mengabaikan tradisi berarti tercabut dari akar. Modernisasi bukanlah karunia yang tanpa pembauran. Modernisasi juga bukan konsep yang tunggal: komunitas-komunitas yang berlain-lainan memodernkan dirinya sendiri secara ber- lainan, karena akar-akar tradisional mereka memang tidak sama1. Berdasarkan urai- an di atas dapat dikatakan bahwa penjelasan di atas akan dijadikan titik tolak untuk mengamati fenomena hermeneutik perubahan peradaban Jawa di Yogyakarta.
Kalau pada hari ini kita semua bersama-sama sedang melaksanakan Program
Restorasi Sosial di tempat yang sangat terhormat ini, berarti kita sedang menjalankan tindakan untuk mengembalikan sesuatu kepada pemilik, tempat dan kondisi sebelumnya, yaitu komunitas, masyarakat yang menjadi pemiliknya. Apakah sebe- narnya yang menjadi milik mereka? Tidak lain dan tidak bukan adalah peradaban ―Istimewa, yang sangat dikagumi oleh bangsa lain. Namun, pada masa kini pemilik peradaban ―Istimewa itu sendiri sedang tenggelam di dalam peradaban lain, sehingga peradaban Istimewa-nya hampir terlupakan, tergusur oleh dirinya sendiri. Kendatipun kita semua tidak dapat menolak gelombang moderiasi, yang bergelung-gulung pada saat ini, dan bahkan hal itu merupakan keniscayaan, tetapi seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa modernisasi tidak harus mengabaikan tradisi, agar kita sendirim tidaki tercabut dari akar, yang merupakan jati diri kita. Yang perlu disikapi dengan cermat dan kritis adalah masalah hermeneutika terhadap peradaban ―Istimewa kita, tetapi juga peradaban lain yang menjadi pasangan kita dalam menjalankan komunikasi interkultural, yang sekarang ini berlangsung demikian terbuka. Dalam melangsungkan komunikasi interkultural ini mau tidak mau akan terjadi proses transformasi peradaban itu. Dalam proses transformasi itu terjadi proses continuity dan discontinuity yang berlangsung dalam waktu yang bersamaan. Peradaban continuity dan discontinuity ini harus dipelihara dengan baik, saksama dan cermat, agar peradaban ―Istimewa‖ kita ini selalu mengalami keserasian, harmonisasi di dalam berkecamuknya modernisasi.
Sangat mearik tema yang dipilih oleh Program Restorasi Sosial pada saat ini, yakni: Gěrbangpraja: Nggugah Rasa Siṭik Éḍing Lumantar Aksara. Membangun Generasi Istimewa Yang Berbudaya dan Beretika Jawa. Perlu dijelaskan sedikit di sini, kata majemuk Gěrbangpraja, sekalipun merupan akronim dari ―Gerakan angga Penggunaan Aksara Jawa‖, tetapi secara grmatikal merupakan kata majemuk hibridis, yakni dari kata gěrbang dan praja. Gěrbang adalah kata Bahasa Melayu, yang berarti, ‗jalan masuk‘ dan praja dari Bahasa Sansekerta prajā2, yang berarti, ‘rakyat, umat‘. Kompositum Gěrbangpraja dapat dibaca dengan dua cara: (1). Menurut kompositum Bahasa Indonesia: ‗Pintu Masuk untuk Rakyat‘; (2). menurut kompositum Sansekerta: ‗Rakyat sebagai Pintu Masuk‘. Pintu Masuk untuk me- nyongsong peradaban ―Istimewa‖. Ketika memasuki sebuah ruang siapapun harus rela membentuk urutan, agar tidak terjadi desak-desakan, yang dapat menyebabkan kerusakan yang fatal, maka di sini diperlukan: Nggugah Rasa Siṭik Éḍing dengan tujuan semuanya dapat mencapai tujuan. Di sini sarana yang dipergunakan untuk Nggugah Rasa Siṭik Éḍing itu adalah Akṣara. Dengan demikian Akṣara menjadi Gěrbangpraja untuk mencapai peradaban ―Istimewa‖ itu. Sekarang apakah yang dimaksud Akṣara dalam konteks ini?
B. Akṣara
Menurut nirukta, ‗etimologi‘ akṣara terdiriatas dua elemen yaitu a– dan √kṣar, yang berarti, ‗berhamburan, rusak, hancur, tercabut‘3, sementara a– merupakan negasi dalam Bahasa Sansekerta, yang berarti, ‗tidak‘, sehingga akṣaramempunyai arti, ‗abadi, tidak dapat berubah, suku kata, suara, kata, kebahagiaan puncak, kekuatan religius, yajña‘4. Dalam Bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna, kata Akṣara mempu-nyai sinonim: .prakṛti, ‗bentuk original atau natural, karakter‘5, parāprakṛti, ‗esen- si yang tertinggi‘; mahad brahman, ‗Spirit agung yang tertinggi‘6; kṣetra, ‗pengu- asa bumi, pribadi yang suci, membudidayakan tanah ladang‘7; yoni,‘simbol tipikal dari dari energi prokrearif yang ilahi‘8 avyakta, ‗Spirit yang sangat universal, tidak tampak, tidak kelihatan‘9, brahman, ‗Spirit yang impersonal‘10; ātman, ‗jiwa, prinsip hidup yang penuh makna‘11. Di dalam Bhagavdgīta terdapat empat belas yang menyebut kata Akṣara. Tiga dari empat belas itu mempunyai arti ‗suku kata‘ (BhG VIII, 10; BhG X, 25; BhG X, 33) tidak dapat diragukan pengertiannya. Sebelas tempat lainnya menempatkan (BhG III, 15b; BhG VIII, 3a, 11a, 21a; BhG XI, 18a, 37d; BhG XII, 1c,3a; BhG XV, 16 b dan d, 188), yang di situ Akṣara disarankan mempunyai sebuah arti prinsip metafisik atau sebuah adjektif yang memenuhi syarat kesamaan. Terminologi BhG tidak memberi arti yang samar- samar, sebagaimana pengertian Akṣara diyakini pada umumnya. Di dalam BhG terdapat sepatah kata yang termasyhur untuk menyebut Akṣara, yakni: saṃjñās yang berarti, pengertian-pengertian teknikal‘. Kata-kata yang termasuk kelas itu ialah: karman (BhG VIII, 3); avyakla (BhG VIII, 18), adhyātma (BhG XI, 1); kṣetrta, kṣetrajña (BhG XIII, 2); guṇālīla (BhG XIV, 25); aśvattha (BhG XV, 1); dvandva (BhG XV, 5); puruṣôttama (BhG XV, 18); sad (BhG XVII, 26-27); a-sad (BhG XVII, 28); saṃnyāsa, tyāga (BhG XVIII, 2,11; VI, 2); sthita-prajña (BhG II, 55, 6); adhidaiva, adhiyajña (BhG VII, 29-30, VIII, 1,4). Semua ekspresi yang terdapat di dalam BhG menunjukkan atau mengindikasikan terminologi tertentu, yang dipakai oleh pengarang untuk menunjukkan jalan lain dari suatu aktivitas. Namun, ada sejumlah kata, yang digunakan dengan satu arti atau lebih tan menunjuk pada indikasi yang mempunyai pengertian teknikal pada kāla itu. Istilan itu antara lain: prakṛti, guṇa, māyā, mahad brahman, svabhāva, nirvāna, buddhi, param, ajñāna, adhisthānā, mad-bhāva, mad-sādharmyam, aṃśa. matira, karuṇa, sāmya, siddhi, dan sebagainya. Juga perlu dicatat bahwa sementara ekspresi seperi semacam saṃjñitam, proktam, prāhuḥ, dan sebagainya, kerap kali menyertai kata- kata dari kelas seelumnya, ekspresi-ekspresi itu tidak dapat dijumpai dalam bagian, yang di situ terdapat kata-kata dari golomgan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa BhG memiliki istilah yang pasti tertentu delam penyelesaiannya. Dalam BhG VIII, 3 Akṣara ditampilkan untuk memberi penjelasan tentang Brahman. Hal ini menunjukkan bahwa arti Akṣara dianggap menjadi tidak ambigius dan lebih baik pasti daripada arti pengertian Brahman. Dalam BhG VIII, 21, Akṣara merupakan penunjuk tentang avyakta yang lebih tinggi, yang juga sering disebut sebagai paramāgati. Deva dikatakan menjadi Akṣara, yang ―terkenal sebagai yang tertinggi‖ (BhG XI, 8), dan Akṣara, sad, a-sad mengatasi segalanya. Dalam BhG XII, 1 diperkenalkan kontran antara meditator pada Akṣara dan meditator pada Puruṣa seakan-akan perbedaan antara keduanya telah termasyhur. Permasalah- annya adalah bukan apakah keduanya adalah meditator, tetapi meditator, yang di situ keduanya adalah lebih baik. Deskripsi Akṣara diberikan bukan karena Akṣara tidak dikenal, tetapi karena melalui atau dengan deksripsi itu, penggubah ingin menunjukkan kesulitan-kesulitan yang mengelilingi mediator-Akṣara (BhG XII, 3). Dalam BhG XV, 16, Kṣara dan Akṣara adalah hal yang kontras (hampir sama degan yang dikatakan oleh Śvet.Up, I.8) dan kūṭastha dikatakan menjadi ―penanda‖ Akṣara (kuṭastho ‘kṣara ucyate). Dengan demikian jelas bahwa penggubah BhG menggunakan istilah Akṣara dalam pengertian yag tidak ambigius mengenai sebuah ekspresi teknikal. Ia mewarisi pengertian dan ekspresi itu dari tradisi yang sangat kuna, yakni Upaniṣad Prosa Paling Kuna dan tradisi Upaniṣad bermetrum, yang awal12. Pandangan ini dipastikan dan diperkuat oleh BhG. Pandangan ini menuntun peneliti pada asal-usul dan perkembangan empat aliran filsafat yang besar dalam MBh, termasuk aliran Sāṃkhya MBh. Pada gilirannya empat aliran besar itu bertanggungjawab terhadap penetapan Vedānta sebagai sebuah isitem yang berseberangan dengan sistem-sistem yang lain. Uraian paling dari sistem- sistem yang dikatakan telah sampai ke tangan kita, yakni Brahmasūtra, yang kemudian hari menjadi buku-teks filosofis dari berbagai macam cabang filsafat Veda. Jika interpretasi ini, ketika diangkat secara menyeluruh, tidak salah, hal itu akan membuktikan tidak hanya pentingnya doktrin Akṣara-Puruṣa dalam metafisik di Jawa Kuna dan Asia Selatan, tetapi juga akan menjelaskan sebagai permasalah- an, yang belum terpecahkan tentang asal-usul Sāṃkhya Klasik, yang seharusnya dilacak terutama ke teori BhG tentang Akṣara-Puruṣa. Selanjutnya, di sini ditemu- kan juga bahwa gagasan tentang Sang Ilahi yang transenden sebagaimana dijumpai dalam aliran Yoga Klasik, yang bermula dalam penolakan identitas Upaniṣadik mengenai Jīva dan Paramâtman. Mengenai teks yang berurusan di sini, diharapkan bahwa interpretasi baru yang dikaitkan dengan sejumlah bait dari BhG dan rekonstruksi aliran-aliran MBh yang lebih kemudian, yang dibangun dalam karya ini akan memperlihatkan baha Vīracarita Agung Jawa Kuna dan Asia Selatan merupakan uraian yang lauh lebih konsisten dan jauh lebih berguna mengenai gerakan-gerakan filsafat dari masa-masa itu daripada yang dipahami pada masa kini. Akhirnya, yang masih tertinggal di benak para pembaca, sejauh mana usaha kepiawaian yang diusahakan di sini untuk menghadirkan penjelasan yang indepen- den tentang bagian-bagian Brahmasūtra itu berhasil di dalam tujuannya untuk menemukan arti original dari karya aphoristik itu13
C. Akṣara sebagai Kunci Membuka Peradaban ―Istimewa
Di antara elemen-elemen yang diwarisi oleh manusia sejak kelahirannya adalah nilai-nilai operatif tertentu dari budayanya. Elemen-elemen itu memberi bentuk dan substansi pada pengertiannya tentang nilai. Orang tidak dapat memahami dirinya sendiri, kalau ia tidak dapat memahami budayanya sendiri. Ia tidak dapat mengkaji hati nuraninya yang paling dalam, apabila pertama-tama ia mengarahkan nilai-nilai spesifik dari budaya yang dianutnya pada kesadaran.
C.1. Akṣara sebagai Prakṛti dan ParāPrakṛti
Oleh karena budayanya, mau tidak mau, menjadi bagian darinya, dan jika ia memungkiri fakta itu atau menolak untuk mempertimbangkannya, maka ia akan gagal untuk melihat siapa dirinya dan tentang apa dirinya14. Di dunia masa kini, budaya mempunyai tiga arti. Pertama, arti klasik dan humanis yang lebih awal, yakni orang menerapkan untuk ―pribadi-pribadi yang berbudaya‖. Kedua, arti antropologis modern, yakni biasanya orang menunjukkan psikologi-kolektif dan gaya-gaya hidup tipikal suatu kelompok manusia. Ketiga adalah definisi yang dikemukakan oleh Geertz: sistem nilai yang diciptakan oleh setiap budaya melalui serangkaian simbol-simbol dan mite-mite15. Lebih jauh, budaya hadir dalam perubahan dan pertumbuhan. Pada masa kini setiap budaya sedang mengalami perubahan yang besar. Budaya yang hidup, sementara menengok kembali ke masa lalu, terus-menerus mengarah ke masa mendatang.
C.2. Akṣara sebagai MahadBraman
Budaya dan religi berkaitan erat. Dalam kenyataan, kesentralan religi dalam budaya diterima secara luas dan dikukuhkan relasi antara kemunduran dalam religi dan kekacauan dalam kehidupan sosial. Demikian pula budaya dan struktur sosial dipertimbangkan menjadi abstraksi-abstraksi yang berlainan dari fenomena yang sama, sementara ekonomi dan politik adalah ciptaan-ciptaan kultural16. Bila dicer- mati secara lebih saksama, maka budaya dapat dibedakan menjadi dua hal, yakni isi dan bentuk. Isi suatu budaya berarti elemen-elemen pokok atau kumpulan- kumpulan yang membangun budaya itu. Sejumlah elemen mungkin hadir dalam budaya tertentu, dan tidak hadir dalam budaya yang lain. Biasanya isi semacam itu dalam sejumlah budaya dapat mengalami perubahan. Apabila perubahan itu cukup meningkat, maka dapat dikatakan ada kemajuan budaya. Dengan kata lain, istilah ―kemajuan budaya biasanya ditandai dengan peningkatan kuantitatif‖ semacam itu. Isi budaya adalah penampilan budaya yang dapat dipaparkan secara eksplisit.
C.3. Akṣara sebagai Yoni
Sementara itu bentuk budaya terutama mengacu pada kualitas budaya, yang melalui kualitas itulah elemen-elemen di dalamnya saling berkaitan dengan cara yang khusus. Dikatakan oleh Kroeber, ―Oleh karena itulah bentuk budaya dapat dianggap sebagai pola saling keterkaitan antara isi-isi yang membangunnya. Bentuk budaya adalah etosnya17. Lebih daripada itu, etika yang sangat khas atau kode moral dalam suatu budaya, etos suatu budaya, mengacu pada totalitasnya. Itulah sebabnya, etos mengacu pada hal yang akan membentuk watak atau karakter dalam individu; pada sistem ideal dan nilai yang mendominasi budaya, dan dengan demikian cenderung untuk mengendalikan tipe kebiasaan anggotanya. Etos sebagai kualitas menyiratkan orientasi atau tujuan yang harus dicapai. Etos ini berkaitan sanngat erat dengan sistem nilai-nilai. Banyak kavi Jawa Kuna dan Sansekerta di Jawa dan Asia Selatan menggubah karya-karya yang memuat tembang-tembang yang mengandung ajaran etik dan moral dalam jumlah yang cukup banyak18. Sampai sekarang ajaran itu masih disimpan dan dipeli- hara dalam bentuk tembang. Para kavi itu memaparkan pengetahuan yang banyak tentang hakikat manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya dan mereka memberikan nasihat- nasihat yang bernada etik dan moral dalam segala situasi. Secara khusus para kavi ini meyakini bahwa tingkah laku manusia saat ini merupakan hasil dari keberadaan sebelumnya dan oleh karena itu mereka akan menanggung beban berat dari perilakunya masa kini. Dalam rangka mencapai kebahagiaan dalam kehi- dupannya masa mendatang, manusia sebaiknya beretika dan moral yang pantas. Untuk membantu manusia berperilaku ysng pantas, para kavi memberi mereka nasihat dan tuntunan etik dan moral, juga petunjuk-petunjuk kebijaksanaan yang langsung dapat dipraktekkan dalam hidup. Semuanya itu dihasilkan dalam sastra didaktik dengan ucapan-ucapan bijaksana, kalimat-kalimat penuh nasihat, pepetah-pepatah yang singkat dan tegas, dan dalam gubahan sejumlah peribahasa yang penuh arti dari filosofi yang termasyhur: miniatur kata-bergambar yang memuat pemikiran mendalam yang dengan mahir dipadukan dalam tembang–tembang.
C.4. Akṣara sebagai Avyakta
Berkenaan dengan makna etik berasal dari etos, Wolfgang Knaux berpendirian bahwa etos menyiratkan karakter moral; etos dikaitkan dengan kebiasaan konkret yang diterima secara moral; etos dapat dilihat hanya dalam lingkungan sosial. Lingkungan itu adalah sistem sosial yang menganugerahkan etosnya kepada individu. Dengan kata lain, etos adalah totalitas muatan normatif yang valid dalam masyarakat yang bersangkutan19. Sekarang, apakah arti dan peran etika? Etika berasal dari kata Yunani: etos. Etika adalah pengetahuan yang normatif tentang tindakan manusia. De Finance memberi definisi etika sebagai berikut: ―Pengetahu– an yang normatif secara kategorial tentang tindakan-tindakan manusia; pengetahu– an itu diikuti dengan penjelasan alamiah yang diungkapkan oleh alasan. ―Sebagai suatu refleksi yang sistematis, etik mencoba untuk menyentuh ―kualitas‖ tindakan- tindakan manusia manusia yang beremanasi dari keinginan individu-individu untuk bebas. Berpangkal dari hal itulah tindakan-tindakan bebas adalah identik dengan tindakan-tindakan manusia.
C.5. Akṣara sebagai Ātman
Kebebasan melibatkan tanggung jawab yang mengingatkan orang pada konteks sosial. Elemen tanggung jawab menyiratkan pengertian tentang nilai-nilai. Etika bergerak di lapangan nilai-nilai moral, dan mengarah pada kode moral yang dipersatukan bagi kehidupan manusia. Dari sini dapat dimengerti bahwa bentuk budaya –etosnya, kualitas ―moral‖ yang mengikat semua elemen di dalamnya— pada dasarnya dikaitkan dengan etika. Dengan kata lain, etika mempunyai basis atau landasan dalam budaya dalam setiap kehidupan manusia20.
Dari uraian di atas dapat diperoleh suatu pemahaman adanya keterkaitan antara budaya dan etika. Budaya dan etosnya membimbing orang ke wilayah etika, sehing-ga dapat dikemukakan bahwa etika memiliki landasannya alam realitas konkret dari budaya. Etika dan budaya disangkutkan dengan tindakan-tindakan manusia yang bebas, dan bergerak sepanjang jalur nilai-nilai. Keduanya mempunyai karakter normatif di lingkungan tindakan-tindakan manusia. Oleh karena etika merupakan sistematisasi reflektif dari etos yang lahir ke dalam budaya, maka praktek-praktek kultural tertentu mungkin dibuang dan yang lain mungkin diterima. Sebagai hasilnya, budaya baru akan lahir, artinya‖ etika ―memelihara‖ budaya baru. Budaya akan mempunyai nilai aktif yang kekal, ketika budaya itu bersifat etikal. Dengan kata lain, masyarakat manusia dengan kekhususan budayanya, mempunyai masa depan sepanjang masyarakat itu bersifat etikal. Budaya dan etika saling berkaitan demi kemajuan keduanya. Etika tanpa budaya adalah mandul, budaya tanpa etika adalah kutukan. Kebebasan, sumber setiap budaya, bukan tanpa tatanan, sehingga budaya yang tertata adalah etika21.
C.6. Akṣara sebagai Kṣetra atau Ksetrajña
Penjelasan-penjelasan di atas akan dijadikan batu pijakan untuk mencermati dan meneliti peradaban ―Istimewa‖. Adapun alasan dipilihnya bahan itu ialah: sejauh naskah-naskah yang dipelihara di pusat-pusat peradaban ―Istimewa‖ Yogyakarta, ditetapkan sebagai sumber-sumber pengetahuan tentang kepercayaan, adat-istiadat, dan lain-lain dari sekelompok suku atau bangsa yang masih dipelihara dalam naskah-naskah dari masa yang lebih awal, maka naskah-naskah -dalam hal ini peradaban ―Istimewa”-merupakan bentuk atau wujud yang paling penting tentang pengetahuan budayanya. Melalui naskah–naskah Jawa sejak masa Kuna hingga Klasik, kita dapat memperoleh pengertian bahwa Yogyakarta ini merupakan wilayah yang disebut sebagai Sapta-Sindavaḥ, daerah aliran tujuh sungai‘, yakni:
Sungai Praga, Sungai Běḍog, Sungai Winanga, Sungai Codé, Sungai Gajah Wong, Sungai Tambak Baya, Sungai Opak-Oya. Sungai-sungai itu agaknya pada masa alu menjadi urat nadi perekonomian di Yogyakarta dengan melalui maritim sungai, sehingga sekalipun wilayah ini merupakan wilayah ―tertutup‖, tetapi mampu memenuhi kehidupannya sendiri. Di samping itu, di setiap wilayah di antara selalu terbentuk peradaban yang matang dan itulah alsannya wilayah Yogyakarta ini sejak dulu menjadi wilayah Āśrama, yang menjadi tempat permukiman para brāhmaṇa beserta para śīṣya mereka, sehingga peradaban intelektual menjadi demikian maju dibandingkan di wilayah-wilayah lain. Melalui konsep Sapta-Sindhavaḥ pada masa kini pembangunan dapat lebih merata dengan karakternya masing-masing. Dengan demikian modernisasi juga bukan konsep yang tunggal: komunitas-komunitas yang berlain-lainan memodernkan dirinya sendiri secara berlainan, karena akar-akar tra- disional yang berlandaskan pada ekologi mereka memang yang tidak sama.
D. Simpulan
Ketika berkembang konsep peradaban ―Istimewa‖ kebanyakan hidup di lingkungan Tradisi Besar menurut pengertian Robert Redfield, yakni Istana-Istana Jawa pada masa itu: abad IX-XIX M (1963), tetapi ketika Tradisi Besar ini tidak dapat lagi menjalankan fungsinya sebagai penampung konsep peradaban ―Istimewa‖, siapakan yang saat ini mampu berperan sebagai Tradisi Besar seperti pada masa lalu?. Peradaban ―Istimewa‖ yang semula sakral seperti kehilangan identitasnya sebagai sarana ritual, sungguh-sungguh menjadi līlā, ‗hiburan untuk bersenang- senang‘, tetapi dengan topeng rasionalitas. Untuk masa kini kiranya institusi akademik sangat berperan dan bertanggungjawab merevitalisasi konsep peradaban ―Istimewa‖ dalam rangka pelestarian rekaman-rekaman budaya yang tersimpan dalam konsep peradaban ―Istimewa‖. Suatu tantangan bagi institusi akademik, seperti universitas, yang mempunyai kewajiban dan tujuan mengangkat kembali dan melestarikan peradaban ―Istimewa‖ khususnya peradaban ―Istimewa‖ Jawa. Pada masa kini institusi akademik seperti universitas, diharapkan mampu memberikan perlindungan dan menjalankan pelestarian peradaban ―Istimewa‖ yang berkembang di wilayah kultural Jawa. Namun, sifat ―Tradisi Besar‖ yang dimuliki oleh institusi akademik seperti universitas, berlainan dengan pengertian Tradisi Besar pada masa Kerajaan-Kerajaan Jawa pada masa lalu. Masalah yang perlu dicarikan jalan keluarnya ialah: Tradition Before the Future. Dalam hal ini muncul pertanyaan: apakah kekuatan peradaban ―Istimewa‖ pada masa lalu mampu mengatasi peradaban ―Istimewa‖ pada masa kini atau wayang masa kini mampu mengatasi peradaban ―Istimewa‖ masa lalu? Apabila ada ruang masa kini dan masa depan bagi eradaban ―Istimewa‖ Jawa, bagaimanakan tradisi itu berjalan dan berlainan dengan dengan berbagai pemahaman tradisi dan peran-perannya pada masa lalu. Untuk itulah kiranya perlu dipertimbang-kan sejumlah hal dalam rangka
mencapai sasaran yang akan dituju oleh institusi akademik seperti universitas, yakni: (1). Tradisi sebagai Sejarah; (2). Ketidakterikat-an antara Tradisi dan Sejarah; (3). Hermeneutik dan Tradisi; (4). Tradisi dan Rasionalitas; (5). Sikap- Sikap Postmodern terhadap Tradisi; (6). Imajinasi Kreatif dan Tradisi. Melalui enam hal itulah kiranya pelestarian dan pengembangan tradisi peradaban ―Istimewa‖ Jawa dapat didudukkan sebagaimana mestinya, tanpa harus menimbul- kan ada-nya pertentangan. Perbedaan-perbedaan yang ada, ditentukan oleh ekologi alam mau-pun ekologi budaya dan masing-masing peradaban ―Istimewa‖ di Jawa memerlukan hermeneutika, karena di samping masalah ekologi, tetapi juga setiap komunitas budaya penopang peradaban ―Istimewa‖ mengalami proses perubahan sosial yang tidak sama pula. Dengan perlu dipeliharanya budaya continuity dan discontinuity perlu perhatian yang sama: Siṭik Éḍing, agar keduanya dapat ber- dinamika dari waktu ke waktu dengan Akṣara, yang pengertiannya sangat maje- muk dan rumit, mulai budaya yang fisik hingga yang yang non-fisik.
Indeks Pustaka
1 Alf Hiltebeitel, The Cult of Draupadī. 1: Mythologies: From Gingee to Kurukṣetra, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1988, p. ix-xix; cf. Alf Hiltebeitel, The Cult of Draupadī. 2: On Hindu Ritual and tyhe Goddess. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1991, p.53-78.
2 Oleh karena itu dalam sistem ketatanegaraan Jawa, seorang pemimpin harus memiliki dua fungsi ganda arau rangkap, yang dijalankan secara bersama-sama, yaitu: sebagai Bhūmipati, ‗Suami Bumi‘ dan Prajāpati, ‗Suami Rakyat, Umat‘. Ia menjadi pelindung alam semesta dan penghuninya secara bersama-sama, serasi, harmonis. Lihatlah beberapa sumber ketatanegaraan Jawa mulai dari masa Jawa Kuna sampai dengan kerajaan-kerajaan Muslim di Jawa. Bacalah beberapa sumber babad: Babad Nitik Sultan Agung, Babad Sěŋkala, Babad Mataram, Babad Maŋkubumi, dan sebagainya.
3 SEDMW 1986, p. 327
4 SEDMW 1986, p. 3.
5 SEDMW 1986, p. 654.
6 SEDMW 1986, p. 738.
7 SEDMW 1986, p. 332.
8 SEDMW 1986, p. 858.
9 SEDMW 1986, p. 111.
10 SEDMW 1986, p. 737.
11 SEDMW 1986, p. 135.
12 P.M. Modi, Akṣara. A Forgotten Chapter in the History of Indian Phlosophy. Baroda: The Baroda State Press, 1932, p. 25.
13 P.M. Modi, ibid., 1932, p. 7-9; cf. Perkecualian parsial dapat dijumpai dalam: Paul Griffiths, Religious Reading: The Place of Reading in the Practice of Religion. New York: Oxford University Press, 1999, p. 114-129. Dalam buku itu dibuktikan secara bijaksana dan provokatif mengenai dominasi oral-aural atas dimensi artefaktual teks dari lingkungan para intelektual brāmaṇa dan guru dapa masa klasik dan pertenghan di Asia Selatan. Berpusat pada dunia yang kemungkinan non- representatif dari biara Buddha, Griffiths menegaskan bahwa sebuah obyek-teks kemungkian telah berfungsi sebagai sebuah tahap yang menopang instruksi tradisional, lebih dari hanya sekedar dicari keterangan secara aktif
14 Thomas F. Schindler, Ethics: The Social Dimensions, Individualism and the Catholic Tradition. Wilmington: Michael Glazier, 1989, p. 160; Thomas Pulloppillil, ―Ethics from the Perspective of Tribals‖, Jeevadhara XXVIII, no.168, 1998, p. 467.
15 cf. J.V. Ferreira, ―The Role of Culture in Society. The Economy and Polity‖, Caritas2, 1995, p.: 12; L.J. Luzbetak Luzbetak, The Churches and Cultures: A New Perspectives in Missiulugical Anthropology. New York: Orbis Book.1990, p. 134; C. Geertz, The Interpretation of Culture. New York: Basic Books, 1973, p. 86ff.
16 H. Carrier, Gospel Message and Human Culture from Leo XIII to John Paul II. Pittsburg, Pennsylvania: Duquesne University Press 1980, p. 84; J.L. Luzbetak, ibid., 1990, p. 293-374; cf. Thomas Pulloppillil, op.cit., 1998, p. 467.
17 Alex Tharamangalam, ―Culture and Ethics in Interaction‖, Jeevadhara XXVIII, no. 168, 1998, p. 420; cf. Ludwik Sternbach, ―Subhāṣita, Gnomic and Didactic Literature‖, dalam: J. Gonda, (ed.), A History of Indian Literature. Part of IV, Facs. 1. Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1974, p. 1-2.
18 L. Sternbach, ―Subhāṣita-saṃgraha-s. A Forgotten Chapter in the Histories of Sanskrit Literature‖, Indologica Taurinensia I, 1973, p. 169-255; L. Sternbach, The Subhāṣita-saṃgraha-s as Treasuries of Cāṇakya’s Sayings, V, I, Series 36, 1966, p. 1-20.
19 W. Knaux, ―On Ethos and Ethics‖, IndianTheologicalStudiesXXXV, 1998, p. 232-235; cf. Peter Peterson, TheSubhāṣitāvaliofValabhavedva. Bombay: Education Society‘s Press, Byculla, 1886,
p. ii-ix, cf. Saduktikarṇâmṛta, 2, 91, 4; Subhāṣita-muktāvali, 14, 12; SubhāṣitaRatnaBhāṇḍaāra 227, 19; Padyaracanā 107, 239; Rasikajivana 976; Sahitya Darpana ad. 681, p. 285.
20 Alex Tharamangalam, op.cit., 1998, p. 420-421; C. Aerath, ―The Dialectical Relation between Culture and Ethos‖, Indian Theological Studies XXXV, 1998, p. 169.
21 Alex Tharamangalam, op.cit. 1998, p. 425.
Di Sunting/ Edit Oleh: Wahyudi Kurniawan
Posting Komentar