Istana Pagaruyung yang biasa disebut sebagai Istana Basa, terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Kota Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Kerajaan Pagaruyung merupakan kerajaan Melayu yang pernah berdiri di Sumatera Barat. Bangunan istana yang sekarang berdiri adalah replika, yang asli dulu terletak di Bukit Batu Patah dan habis terbakar ketika terjadi peristiwa kerusuhan pada tahun 1804. Istana yang terbakar itu dibangun lagi tetapi kembali terbakar lagi pada tahun 1966.
Ketika Sumatera Barat dibawah Gubernur Harun Zain, Istana Basa dibangun lagi dan peletakan batu pertama dilakukan tanggal 27 Desember 1976, lokasi bangunan baru Istana Basa di sebelah selatan bangunan lama yang terbakar.
Pada tanggal 27 Februari 2007 Istana Basa kembali terbakar, dan kebakaran kali ini disebabkan oleh sambaran petir pada puncak istana. Kebakaran ini menyisakan sedikit barang berharga. Dokumen dan lain-lain ikut terbakar. Barang-barang yang tersisa kemudian disimpan di Istana Silindung Bulan yang terletak kurang lebih 2 km dari Istana Basa.
Istana berbentuk rumah panggung empat persegi panjang dengan atap ijuk berbentuk tanduk kerbau yang disebut gonjong. Bangunan ini didominasi beragam ukiran pada seluruh permukaan dindingnya.
Stuktur bangunan terdiri atas 11 gonjong, 72 tonggak, dan 3 lantai. Dibelakang bangunan utama ada bangunan dapur yang dihubungkan oleh lorong beratap.
Ada beberapa bangunan lain disekitar istana, salah satunya adalah bangunan lumbung padi atau disebut Rangkiang Patah Sembilan yang terletak di pekarangan istana. Bangunan tersebut juga sebagai simbol kemakmuran dan kekuatan Alam Minangkabau.
Selain bangunan lumbung terdapat pula bangunan kecil yang didepannya terpasang alat semacam bedug, bangunan itu disebut Tabuah Larangan. Tabuah pertama bernama Gaga Di Bumi yang dibunyikan apabila terdapat peristiwa yang besar seperti bencana alam, kebakaran, tanah longsor dan sebagainya. Tabuah kedua bernama Mambang Diawan yang dibunyikan untuk memanggil Basa Nan Ampek Balai (Dewan Empat Menteri) untuk mengadakan rapat. Selain itu ada bangunan surau tempat dimana anak-anak lelaki melakukan ibadah sholat dan mengaji.
Dinding bangunan dipenuhi dengan lebih dari 200 jenis motif ukiran khas Minangkabau yang menggambarkan alam, hewan dan tumbuh-tumbuhan yang mencerminkan nilai keakraban hubungan antara manusia dengan semesta alam serta sarat dengan falsafah kekerabatan. Istana ini didirikan diatas tonggak-tonggak yang setiap tonggak berdiri di atas batu sandi, tidak dikubur didalam tanah sehingga apabila terjadi tremor akibat gempa bumi, tidak ada kecenderungan rumah akan roboh ke sisi manapun.
Lantai pertama adalah ruangan terbuka dibagi menjadi beberapa bagian, ada tiga bagian utama yaitu Anjuang Perak (sisi kiri) tempat beraktivitas orang tua raja, Singgasana (tengah – menghadap pintu masuk) tempat bersanding ibu suri dan Anjuang Rajo Babandiang (sisi kanan) tempat beraktivitas raja dan permaisuri.
Diantara tiga bagian utama terdapat 7 bilik atau ruang khas Minang (ruangan tanpa pintu hanya ditutup tirai) untuk keluarga puteri-putri raja yang telah menikah.
Ruangan di lantai dua yang disebut Anjuang Paranginan. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat tinggal putri-putri raja yang belum menikah (gadis pingitan) beserta perlengkapannya.
Mahligai atau ruang yang berada di lantai tiga dan berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat kebesaran raja seperti mahkota kerajaan yang dahulunya disimpan dalam sebuah peti khusus yang dinamakan Aluang Bunian. Apabila ada acara tertentu alat-alat kebesaran tersebut dikeluarkan dari tempatnya.
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Pernah di Posting di Facebook Sisarda Indonesia oleh Ika Dewi Retnosari dengan judul yang berbeda.
Posting Komentar