Penulis : Afrinaldi Zulhen
Sejatinya, sejarah Madiun bukan hanya dibangun dari kisah pilu tentang pemberontakan PKI 1948 semata. Lebih lebih dari itu, wilayah yang terletak di sisi barat Provinsi Jawa Timur ini berabad-abad lalu merupakan daerah terpenting bagi perkembangan peradaban Nusantara. Naskah Bujangga Manik yang berisi tentang catatan perjalanan seorang bangsawan Kerajaan Sunda Pajajaran pada abad XV, menceritakan rute di wilayah ini.
Sadatang aing ka Jempar, meu(n)tasing di Ciwuluyu, cu(n)duk ka lurah Gëgëlang ti kidul Mëdang Kamulan, cu(n)duk ka Bangbarung Gunung.
Setelah tiba di Jempar, aku menyeberangi Sungai Ciwuluyu, tiba di wilayah Gëgëlang, ke arah selatan Mëdang Kamulan, lalu tiba di Bangbarung Gunung.
Lingga Yoni di Candi Wonorejo |
Baik Mëdang Kamulan dan Gëgëlang merupakan nama kerajaan lama di Pulau Jawa berdasarkan tradisi lisan masyarakat dan kisah-kisah hikayat seperti Panji. Walau demikian, berdasarkan temuan arkeologis yang dicocokkan dengan tradisi lisan tersebut, para ahli purbakala sepakat menetapkan Mëdang Kamulan terletak di wilayah Grobogan, timur Purwodadi (van der Kemp 1895:276; Orsoy de Flines 1949:426). Sedangkan Gëgëlang terletak pada wilayah Madiun dengan ibukotanya di antara Madiun dan Ponorogo (Rouffaer in Brandes 1920:98; Poerbatjaraka 1940:335). Besar dugaan bahwa ibukota kerajaan ini berada di sekitar Desa Ngrawan, Kecamatan Dolopo, Kabupaten Madiun yang dibuktikan penemuan beberapa situs arkeologi baru-baru ini.
Struktur Teras dari Bahan Bata Merah di Candi Wonorejo |
Walaupun dugaan pusat Kerajaan Gëgëlang atau yang popular di era Singhasari sebagai Gëlang – Gëlang berada di wilayah Ngrawan, Dolopo, namun di wilayah Mejayan (Caruban) juga banyak ditemukan situs bersejarah yang berasal dari era Nusantara klasik. Salah satunya adalah Situs Candi Wonorejo yang terletak di Desa Wonorejo, Kecamatan Mejayan (Caruban). Apabila kita melintasi Jalan Raya Surabaya–Madiun dari arah Surabaya menuju Solo, maka kita akan tiba di persimpangan pusat Kota Mejayan di mana Masjid Agung Caruban berdiri tegak di sisi kanan jalan. Dari persimpangan tersebut kita belok kiri melewati Jalan Imam Bonjol ke arah selatan, diikuti sedikit berbelok ke arah tenggara melalui Jalan Caruban–Gemarang sejauh 3 km, hingga tibalah kita pada persimpangan Jalan Sentonorejo. Dari titik simpang ini kita akan berbelok ke arah selatan (kanan) melewati Jalan Sentonerejo. Situs candi sendiri berada sekitar 500 meter dari persimpangan jalan tersebut.
isa dikatakan yang tersisa dari candi ini adalah susunan pondasi bata kuno, lingga-yoni, lima buah umpak, dan beberapa arca kecil. Sebelum ditemukan pada tahun 1989, lokasi ini awalnya berupa gundukan tanah yang ditumbuhi dua pohon besar; yaitu pohon nangka dan pohon spreh. Di bawah kedua pohon ini dahulu diletakkan altar sesaji dari batu andesit berukuran 115x39x25 cm (saat ini, altar tersebut telah dipindah ke sisi timur sebagai alas letak bagi beberapa arca berukuran kecil). Nasib gundukan ini berubah ketika sesepuh Dusun Santan bernama Sukarto Simun mendapat ilham untuk menggali gundukan tersebut. Dari hasil penggalian mandiri tersebut, beliau menemukan adanya yoni dalam keadaan tergeletak miring dengan kedalaman 1,5 m dari permukaan gundukan. Warga Desa Wonorejo yang mengetahui adanya kemungkinan bangunan candi di wilayah mereka, secara bergotong royong mulai memperluas area penggalian dan menemukan struktur bata beserta arca. Mereka juga mendirikan pendopo semi permanen dari tonggak bambu untuk melindungi area situs dari terpaan terik matahari dan air hujan. Sejak penemuan yang menggemparkan tersebut, situs ini akhirnya diteliti oleh Dinas Suaka Purbakala Jawa Timur pada tahun 1996 hingga 1998 yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan proses ekskavasi, pemugaran, dan pembangunan pagar pelindung untuk mencegah penggalian liar di wilayah situs.
Candi ini berbentuk persegi berukuran 14×14 meter, berbahan bata merah dengan teknik pemasangannya menggunakan sistem kosot. Dalam sistem tersebut, masing-masing bata hanya disusun roboh dan ditempelkan antara satu dengan yang lainnya menggunakan jarak tertentu. Bangunan utama candi sendiri diperkirakan terdiri dari tiga teras berupa undakan. Teras paling atas memiliki ukuran 5×5 meter, memiliki lubang persegi sedalam 70 cm, dan terdapat lingga-yoni yang masih dalam keadaan utuh di dalamnya. Lingga memiliki ukuran tinggi 70 cm dan lebar 31 cm, sedangkan yoni berukuran 163x120x92 cm. Motif badan pada yoni masih polos, dan bagian ceratnya menghadap ke arah utara. Dugaan saat ini, candi menghadap ke arah barat. Sayangnya, hasil ekskavasi belum menemukan arca-arca besar pendukung layaknya Candi Hindu seperti arca Guru Agastya (selatan), arca Durga (utara), dan arca Ganesha (timur).
Di bagian sudut teras ini juga terdapat empat umpak persegi berukuran 58x58x36 cm yang diperkirakan berfungsi sebagai tiang penyangga atap candi. Dari hasil rekonstruksi pada tahun 1996, diperoleh gambaran bahwa kemungkinan besar candi ini berbentuk bangunan altar tiga tingkat, dan tidak memiliki bagian tubuh. Hanya berupa panggung terbuka dan pada bagian tengahnya (teras paling atas), diduga terdapat sebuah konstruksi atap dari kayu untuk memayungi ruang utama, yakni sebuah lingga yoni sebagai objek utama pemujaan pada candi.
Di bagian sudut teras ini juga terdapat empat umpak persegi berukuran 58x58x36 cm yang diperkirakan berfungsi sebagai tiang penyangga atap candi. Dari hasil rekonstruksi pada tahun 1996, diperoleh gambaran bahwa kemungkinan besar candi ini berbentuk bangunan altar tiga tingkat, dan tidak memiliki bagian tubuh. Hanya berupa panggung terbuka dan pada bagian tengahnya (teras paling atas), diduga terdapat sebuah konstruksi atap dari kayu untuk memayungi ruang utama, yakni sebuah lingga yoni sebagai objek utama pemujaan pada candi.
Lingga merupakan simbol dari Dewa Siwa dan yoni merupakan simbol dari Dewi Durga (istri Dewa Siwa). Dengan demikian, jelaslah bangunan candi ini bercirikan Hindu Siwa. Adapun dengan struktur bangunan yang sangat sederhana dan berundak-undak merupakan gaya bangunan candi yang banyak berkembang di Jawa bagian timur pada akhir periode Majapahit. Bahan bangunan juga terbuat dari bata merah berukuran 33x23x8 cm yang merupakan unsur pembentuk bangunan candi-candi di era Majapahit.
Candi Wonorejo dalam perkembangannya saat ini selain dijadikan sebagai cagar budaya, oleh warga sekitar juga masih sering dijadikan tempat ritual untuk kegiatan bersih desa setiap setahun sekali. Selain itu banyak juga peziarah yang masih mempercayai kekeramatan bangunan ini dan datang untuk memperoleh berkah. Terlepas dari mitos dan kekeramatan tersebut, sudah seharusnya keberadaan Candi Wonorejo perlu untuk terus dilestarikan karena merupakan warisan leluhur sebagai bukti eksistensi dari peradaban di wilayah Mejayan. Selain itu, keberadaan candi ini juga memancing aktivitas edukatif masyarakat untuk menelusuri perkembangan masa lalu Kabupaten Madiun. Mungkin saja Madiun di masa akan datang, dapat menjadi salah satu pusat penelitian sejarah klasik Nusantara.
Sumber Pustaka:
Candi Wonorejo dalam perkembangannya saat ini selain dijadikan sebagai cagar budaya, oleh warga sekitar juga masih sering dijadikan tempat ritual untuk kegiatan bersih desa setiap setahun sekali. Selain itu banyak juga peziarah yang masih mempercayai kekeramatan bangunan ini dan datang untuk memperoleh berkah. Terlepas dari mitos dan kekeramatan tersebut, sudah seharusnya keberadaan Candi Wonorejo perlu untuk terus dilestarikan karena merupakan warisan leluhur sebagai bukti eksistensi dari peradaban di wilayah Mejayan. Selain itu, keberadaan candi ini juga memancing aktivitas edukatif masyarakat untuk menelusuri perkembangan masa lalu Kabupaten Madiun. Mungkin saja Madiun di masa akan datang, dapat menjadi salah satu pusat penelitian sejarah klasik Nusantara.
Sumber Pustaka:
- Poerbatjaraka, R Ng. 1940. Pandji-verhalen onderling vergeleken. Batavia: BJ 9.
- Noorduyn, J. 1984. Bujangga Maniks journeys through Java; topographical data from an old Sundanese source. Jakarta: KITLV & LIPI.
- http://kitamadiun.blogspot.com/2017/08/candi-wonorejo-caruban-madiun/.
- Wawancara dengan Juru Pelihara Candi, Pak Sampiro.
Posting Komentar