Oleh: Didiek Praww (Sigarda Indonesia)
Budaya selama ini berada di posisi yang tidak terlalu populer dalam ranah pendidikan ataupun perbincangan besar dalam kehidupan kita secara umum. karena, budaya dianggap sebagai sebuah produk bangunan yang dibentuk oleh sekelompok masyarakat agar bisa diterima oleh lingkungan di sekitarnya yang disesuaikan dengan zamannya.
Sebagai sebuah produk, budaya muncul dalam dinamika yang berkesinambungan antara dekonstruksi dan rekonstruksi. Adapun semua produk budaya yang dihasilkan akan membuat nilai-nilai budaya selalu bisa bergeser dan bertransformasi atau bahkan bisa berubah sewaktu-waktu menyesuaikan dengan ruang dan waktu yang berbeda, artinya perubahan budaya adalah keniscayaan dan tidak bisa dihindari.
Demikian juga ketika kita berbicara tentang perubahan budaya masalalu di era globalisasi seperti saat ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan akibat kemajuan zaman yang ditandai dengan perkembangan tehnologi yang begitu cepat, baik dibidang transportasi, informasi maupun komunikasi. Semakin mengikat kelompok-kelompok masyarakat lintas pulau bahkan lintas negara di dunia ini dalam satu kesepahaman dan satu kepentingan pemanfaatan yang sama sehingga ini sangat berdampak pada perubahan budaya, terutama pada budaya masyarakat lokal dan juga masyarakat pendatang apabila kita tidak saling bijak memahami dan menghargai budaya yang satu dengan lainnya.
Sebagai contoh, saya mengamati adanya pergeseran nilai-nilai budaya dan kemanusiaan dalam tradisi tahunan di kampung saya, Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Dari tradisi masyarakat pedesaan ini saya melihat adanya benih-benih intoleran yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik sosial budaya sekalipun itu kecil dan masih terselubung. Kekerasan verbal seringkali terjadi sepanjang perdebatan tentang perbedaan dalam hal apapun yang melibatkan dua kelompok masyarakat di Desa Klampok. Kelompok pertama adalah penduduk asli yang mewakili etnis Jawa tradisional yang masih memegang teguh adat budaya dan kepercayaan lokal, sumber kehidupannya kebanyakan menggantungkan diri pada sektor pertanian dengan rata-rata masyarakat berpendidikan rendah. Sedangkan kelompok kedua didominasi oleh masyarakat pendatang dari berbagai etnis yang sangat kuat memegang ajaran agama, secara ekonomi lebih mapan dan pendidikannya lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk lokal. Fakta sosial yang dimiliki oleh kelompok kedua mengakibatkan kelompok ini memiliki posisi tawar yang lebih baik secara formal maupun informal, sehingga ada kecenderungan untuk mengontrol kelompok pertama secara masif. Kontrol sosial oleh kelompok pendatang atas masyarakat lokal tidak hanya atas dasar pendidikan saja, tetapi juga karena alasan budayanya lebih tinggi dan lebih maju, yaitu seni budaya yang lebih agamis dan tuntunan kebenaran atas nama ajaran agama. Secara pelan-pelan mulai terjadi upaya meminggirkan yang lemah dengan mengendalikan semua hajat hidup kelompok yang dianggap berbeda. Kelompok kedua ini berusaha menempatkan posisinya sebagai kekuatan pembaharuan untuk pembangunan masyarakat dengan pola pikir yang modern, dan dampak globalisasi yang ditonjolkan adalah homogenisasi. Mereka menggunakan budaya transglobal sbg kekuatan tunggal untuk memaksakan sebuah kebenaran.
Tradisi sedekah bhumi atau ruwat desa yang selama ini rutin diadakan setiap bulan Suro sesuai dengan hitungan kalender Jawa dengan segala kelengkapannya yang ditampilkan sesuai adat dan kepercayaan lokal dan biasanya juga dibarengi dengan pertunjukan wayang kulit telah menjadi bagian yang sangat berbeda, dan tidak bisa dijadikan sama dengan kelompok kedua atau masyarakat pendatang ini sangat terancam keberadaannya. Bisa kita pahami apabila budaya transglobal ini diterjemahkan dalam posisi menjadi kekuatan tunggal maka dampak globalisasi yang muncul lebih kuat lagi adalah homogenisasi, dan tentunya ini bisa menjadi muara tumbuhnya budaya intoleransi.
Negara kita tercinta Indonesia ini sangat berbeda dengan dengan negara-negara lainnya seperti Australia atau Amerika. Keragaman etnis, agama, dan budaya di Australia atau Amerika terbentuknya berdasarkan latar belakang asal-usul para imigran. Sedangkan di Indonesia kemajemukan masyarakatnya merupakan jiwa dalam sebuah raga atau harta kekayaan dari sebuah negara besar yang bernama Indonesia. Maka amat penting untuk dibangun suatu kesadaran bersama bahwa ungkapan penghakiman baik atau buruk, benar atau salah adalah sesuatu yang relatif dan tidak bersifat mutlak karena masing-masing memiliki sudut pandang dan nilai budaya yang berbeda-beda.
Sikap intoleran sesungguhnya adalah sumber kebencian yang biasanya terjadi karena adanya individu atau kelompok yang merasa diri paling baik, paling benar, paling suci dan seterusnya dibandingkan dengan kelompok lainnya atas dasar perbedaan suku, agama, budaya, status sosial ekonomi bahkan sampai pada urusan perbedaan pilihan politik. Maka apabila hal ini dibiarkan dan diberi ruang lebih, sangat mungkin menimbulkan tragedi budaya dan dampak lebih besar lagi terjadinya tragedi kemanusiaan. Pada sebagian masyarakat majemuk budaya intoleran ini menjadi bahaya laten dan wajib untuk diwaspadai bersama.
Dari uraian diatas semoga kita bisa lebih bijak untuk memaknai berbagai kegaduhan akibat dari perbedaan yang akhir-akhir ini sedang marak terjadi di negara kita tercinta Indonesia. Di Indonesia belajar untuk memahami orang lain, kelompok atau golongan lain dengan segala bentuk ekspresi adat budaya yang berbeda sesungguhnya sudah dilakukan sejak dahulu dan masih dipertahankan hingga sekarang terutama oleh masyarakat-masyarakat tradisional dibeberapa wilayah di Indonesia.
Cara memahami secara bijak tentang berbegai perbedaan sebagian besar bersumber pada kearifan lokal yang tetap dirawat dan dilestarikan oleh kelompok-kelompok masyarakat tradisional ini. Nilai-nilai moral dan etika yang terkandung dalam kearifan lokal banyak sekali dijadikan tuntunan hidup oleh mereka, baik dalam tataran vertikal yaitu hubungan individu dengan Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Esa maupun dalam tataran horizontal yaitu hubungan antar manusia sebagai tanggungjawab individu untuk berintegrasi sosial dalam sebuah masyarakat.
Ada banyak contoh yang bisa kita lihat dan kita jadikan sebagai bahan perenungan. Salah satunya dengan memperhatikan keseharian masyarakat tradisional yang tinggal di lereng gunung Bromo, Jawa Timur. Mereka tetap merawat dan melestarikan kearifan lokal di tengah zaman yang serba global seperti saat ini. Niat baik dan tulus dilandasi oleh keyakinan yang kuat terhadap ajaran moral etika yang diwariskan secara turun-temurun sejak dahulu masih terus dilakukan dan dilestarikan untuk menjaga alam semesta dengan segala isinya yang beragam ini, terutama untuk menghadapi segala perubahan budaya yang disebabkan oleh efek globalisasi yang bagi mereka sendiri tidak mungkin untuk dihindari.
Masyarakat tradisional di lereng gunung Bromo sangat mampu dalam hal mengambil keputusan, di waktu kapan mereka harus mempertahankan tradisinya sebagai harta warisan yang sangat berharga dan kapan mereka harus mentransformasikannya menjadi obyek pariwisata yang baik. Perlawanan yang dilakukan terhadap konsep modern dapat dilakukannya cukup dengan memisahkan antara dunia spiritual dan dunia material dalam porsi yang berimbang. Dengan berbagai pemahaman yang mereka miliki masyarakat tradisional di lereng gunung Bromo telah mampu bernegosiasi dengan kekuatan modern dengan cara menyeimbangkan dua kesejahteraan yaitu material dan spiritual yang menjadi miliknya hingga tidak ada satupun kekuatan yang mampu menguasainya.
Perubahan budaya yang bersifat dinamis sebagai ciri dari modernitas yang biasanya memiliki kecenderungan memarginalkan masyarakat tradisional tidak pernah membuat mereka ketakutan hingga membuat mereka harus meninggalkan nilai-nilai budaya dan kepercayaan yang selama ini mereka pegang dalam kehidupan sehari-harinya. Bahkan setelah Bromo ditetapkan sebagai salah satu destinasi pariwisata unggulan Indonesia oleh pemerintahpun tidak sepenuhnya mampu menghapus kebiasaan dan ketaatan masyarakat setempat terhadap kegiatan-kegiatan kebudayaan dan ritual-ritual kepercayaan secara sakral yang masih terus dilakukan baik secara individu maupun komunal secara terpisah dari kegiatan ritual pariwisata. Semua berjalan beriringan secara normal yang seolah ada dua kutub berbeda yang masing-masing mempunyai dunianya sendiri yaitu: antara material dan spiritual, tanpa ada intervensi satu sama lain. Nilai budaya dan kepercayaan yang terkandung dalam kearifan lokal menjadi pedoman moral etika yang utama bagi mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta terus menjalankan tradisi-tradisi warisan leluhurnya.
Posting Komentar