Penulis: Ikadewi Retnosari
Kunjungan ke Prigi kali ini, saya tempuh sendiri saja. Kali ini melalui jalur Tuntang kemudian ke arah Kedung Jati. Dalam kunjungan ke 2 di tanggal 21 Agustus 2020 ini saya tidak mencari tinggalan artefak. Tetapi saya ingin menyaksikan salah satu kearifan lokal yang dimiliki warga desa Prigi, bertepatan dengan peringatan 1 Suro 1954 Saka.
Desa Prigi memang agak terpencil jauh dari desa2 sekitarnya. Yang menarik dari Prigi dalam kehidupan sosial adalah toleransi warganya yang sangat luar biasa antara penganut agama Islam, Buddha dan kepercayaan Kejawen…ya penduduk desa Prigi sebagian beragama Islam, sebagian lagi beragama Buddha dan sebagian lagi masih memegang kepercayaan Jawa. Di desa itu selain ada beberapa masjid juga ada 1 bangunan yang untuk sementara difungsikan sebagai Vihara.
Hari itu bertepatan dengan peringatan 1 Muharam atau 1 Suro. Ada berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Satu hari sebelum memasuki malam 1 suro. Penduduk di sana ..terutama yang orang tua yang masih memegang kepercayaan leluhur melakukan ‘Mapag tanggal’ puasa selama 24 jam sampai waktu maghrib jelang malam 1 suro dan menyediakan kelengkapan sesaji di rumah (lihat gambar 1). Kemudian sebelum/setelah maghrib mereka mengadakan kenduri di beberapa titik, terutama di areal simpang jalan. Dalam acara kenduri ini, semua keluarga akan membawa makanan dari rumah yang kemudian dikumpulkan dan di doakan bersama dipimpin oleh seorang modin. Setelah itu semua yang hadir akan ikut makan bersama, sungguh menyenangkan melihat keguyuban seluruh warga.
Esok paginya..semua warga bersama-sama pergi ziarah ke makam desa (lihat gambar 1). Di sana ada sebuah makam yang menjadi punden desa dan Ulama tersebut dipercaya sebagai penyebar Islam pertama di desa ini. Uniknya tidak hanya warga yang beragama Islam yang melakukan doa bersama dan mengunjungi makam tersebut, tetapi juga warga yang beragama Buddha.
Dalam acara pagi itu, ada juga tradisi unik yang dilakukan oleh warga dari luar Desa Prigi. Mereka yang pernah bernadzar dan terkabul, kemudian melakukan doa dan makan bersama di dekat area makam, bahkan ada yang memotong kambing untuk dimasak dan dibagikan (lihat gambar 4).
Setelah acara ziarah, biasanya diadakan acara arak-arakan keliling desa menuju ke vihara. Tetapi karena Pandemi maka kegiatan tersebut ditiadakan. Warga yang beragama Buddha kemudian melanjutkan dengan kebaktian di Vihara dengan mendatangkan seorang Bante utk memimpin doa (lihat gambar 3). Satu lagi hal yang menarik, bahwa Bante Sasanabodgi menyampaikan khotbahnya dengan bahasa Jawa.
Begitulah suasana toleransi beragama yang sangat kuat di kalangan warga Desa Prigi..yang tentunya bisa memberikan pelajaran pada kita bahwa perbedaan keyakinan dalam beragama dan beribadah bukan hambatan untuk membina kerukunan dan persaudaraan.
Perbedaan bukan untuk memisahkan..tetapi perbedaan itu untuk saling melengkapi… Indonesia menjadi indah karena keragamannya.
Gambar 1. Acara ziarah kubur ke masing-masing makam keluarga dan makam punden desa pada tanggal 1 sura pagi. Semua penduduk Muslim, Buddha dan Kejawen datang bersama ke areal makam Desa. |
Gambar 2. Makanan sesaji yang diletakkan di dalam rumah sebelum acara mapag tanggal sebagai ucapan selamat datang kepada leluhur |
.
Gambar 3. Acara sembahyang umat Buddha di Vihara Desa untuk memperingati 1 sura. |
Gambar 4. Acara syukuran yang dilakukan di area makam desa oleh warga maupun non warga yang hajatnya terpenuhi . |
Posting Komentar