Du Pavillion adalah sebuah hotel berlantai dua yang ada di Semarang dan sangat termashur kala itu. Du Pavillion banyak mewarnai Sejarah Kota Semarang. R.A. Kartini pernah singgah dan menginap bersama saudaranya ketika mereka diajak orang tuanya menyambut kedatangan seorang Gubernur Hindia Belanda. Ketakjuban pada gapura Du Pavillon dengan gemerlap lampu indahnya ditulis R.A. Kartini ke dalam Een Gouverneur Generalsda sehingga dikenal dunia.
Du Pavillon memang layak dibanggakan. Selain menggunakan teknologi sanitary modern, hotel yang dibangun pada tahun 1847 itu terhitung sebagai hotel yang mewah pada zamannya. Di dalam hotel tersedia 80 ekor kuda berikut kereta kuda. Para tamu dapat diantar ke mana saja ia mau. Juga tersedia 12 mobil mewah yang diparkir di halaman untuk para tamu istimewa.
Hotel ini terletak di jalan Bodjong (sekarang Jalan Pemuda) yang ketika itu di kiri kanannya tumbuh pohon asam yang rimbun di sepanjang jalan, antara Jembatan Mberok di sebelah timur hingga Lawang Sewu. Bisa dibayangkan betapa indahnya kota Semarang pada waktu itu. Apalagi tahun 1914, berlangsung event Koloniale Tentoonstelling, sebuah perhelatan pameran terbesar se Asia Tenggara. Maka Du Pavillon melakukan renovasi besar-besaran satu tahun sebelumnya. Jumlah kamar ditambah 50 buah. hampir 100 pelayan lokal setiap hari dikerahkan. Yang tidak kalah dahsyat, para manajer diambil dari pengelola hotel-hotel berpengalaman di Paris dan Inggris.
Satu peristiwa bersejarah lainnya yang juga melibatkan hotel ini yaitu peristiwa Pertempuran 5 Hari di Semarang. Menurut arsip Suara Merdeka edisi 6/2/1976 yang ditulis oleh Amen Budiman, kala itu para pemuda Semarang menjadikan tempat ini sebagai tempat perlindungan ketika terjadi gesekan dengan Jepang. Beberapa bagian hotel ikut rusak lantaran rentetan senjata oleh pasukan Jepang. Lobi hotel ini menjadi tempat perundingan yang dihadiri tokoh penting Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro dengan pihak-pihak terkait untuk mengakhiri Pertempuran 5 Hari tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, hotel ini berganti-ganti pemilik. Sekarang namanya menjadi Hotel Dibya Puri menjadi milik PT. Natour, BUMN yang khusus mengurus hotel nasionalisasi tinggalan Belanda. Tetapi sejak tahun 2008 hotel ini sudah mulai ditinggalkan pengunjung. Menurut info dari penjaga hotel sebenarnya saat ini hotel sedang dalam tahap renovasi dibawah pengawasan Balai Taman Wisata Candi, tetapi kemudian terhenti sejak 2018 sampai sekarang.
Alangkah disayangkan jika bangunan yang menempati areal seluas 10,3 hektar, memiliki nilai historis yang sangat tinggi dan bahkan telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya dengan SK Walikota Semarang No. 646/50/Tahun 1992 tanggal 4 Februari 1992 ini dibiarkan begitu saja tanpa mendapatkan perawatan yang semestinya.
#KENALI
#CINTAI
#Bersama
#SINAU_CAGAR_BUDAYA
Posting Komentar