Bali menurut Picard (2008:16), professor dari Perancis disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Julukan tersebut rasanya sesuai dengan kondisi Pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Hampir di setiap penjuru atau tempat-tempat tertentu akan didirikan pura. Pura merupakan tempat beribadat (bersembahyang) bagi umat Hindu Dharma. Selain sebagai tempat aktivitas keagamaan, beberapa pura di Bali juga menyimpan peninggalan-peninggalan kuno yang memiliki nilai historis penting. Salah satu pura tersebut adalah Pura Kebo Edan. Pura Kebo Edan berlokasi di Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.
Salah satu hal menarik dari Pura Kebo Edan adalah terdapat beberapa arca kuno bercorak Tantrayana. Stutterheim (1929:150-151) berpendapat bahwa arca-arca di Pura Kebo Edan berasal dari periode abad 13-14 M; Atmodjo (1983:49) berpendapat jika arca di Pura Kebo Edan berasal dari pemerintahan Raja Astasura Ratna Bumi Banten sekitar abad ke-14 M; sementara Surasmi (2007) berpendapat bahwa arca-arca bercorak tantrayana tersebut merupakan pengaruh dari Kerajaan Tumapel (Singhasari), tepatnya pada masa pemerintahan Kertanagara sekitar abad ke-13 M. Dalam Kakawin Nagarakertagama dijelaskan jika Kertanagara mengirimkan utusan ke Bali pada tahun 1206 S/1284 M untuk menaklukkan rajanya. Kertanagara merupakan seorang raja penganut agama Buddha Tantrayana dari aliran Kalachakra yang berkembang di Benggala. Di Jawa, aliran tersebut kemudian bercampur dengan pemujaan terhadap Siwa-Bhairawa (Hardiati dkk, 2010:440).
Adapun arca-arca bercorak tantrayana yang terdapat di Pura Kebo Edan salah satunya adalah Arca Siwa Bhairawa. Arca Siwa Bhairawa merupakan arca perwujudan Dewa Siwa dalam wujud marah dan menyeramkan. Arca tersebut digambarkan berambut ikal; berbadan tegak dengan sikap kaki agem (kuda-kuda) di atas mayat manusia dengan wajah murung dan mata terbuka; sikap tangan seperti berkacak pinggang; bagian tangan dan kakinya terlilit ular; dan memiliki tinggi sekitar 3,6 meter, lebar 1,7 meter, dan tebal 87 cm. Berdasarkan ciri ikonografisnya, arca tersebut menunjukkan aliran Tantrayana Niwretti atau aliran kiri (Atmojdo, 1983:50). Dalam praktiknya, aliran Niwretti melakukan panca-ma yang meliputi matsya (makan ikan), mamsa (makan daging), mudra (makan pagi-padian), mada (minum minuman keras), dan maithuna (melakukan hubungan suami istri).
Daftar Rujukan
- Atmodjo, M.M.S. 1983. Mengapa Phallus Arca Siwa-Bhairawa di Pura Kebo Edan Menghadap ke Kiri?. Berkala Arkeologi, 4(1) halaman 48-54.
- Hardiati, E.S., Djafar, H., Soeroso., Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Zaman Kuno. Dalam R.P. Soejono & R.Z. Leirissa. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Picard, M. 2008. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta: KPG.
- Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden van Bali. Bali: Kirtya Liefrinck Van Der Tuuk.
- Surasmi, I.G.A. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.
Posting Komentar