Oleh Satok Yusuf
Halo, nama saya Yusuf, saya ingin berbagi pengalaman berharga mengenai fenomena masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Pengalaman tersebut saya alami saat melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di wilayah Blitar Selatan pada bulan Agustus tahun lalu. Pada saat itu, pandemi covid-19 telah melanda wilayah Indonesia, termasuk wilayah Kabupaten Blitar. Masyarakat Blitar menyebut pandemi tersebut sebagai pagebluk. Masa tersebut menjadi momen dimana kita harus berikhtiar, baik secara fisik maupun religi untuk menghadapinya.
Saya mendapati banyak topeng yang terbuat dari pelepah daun kelapa kering dipajang di depan rumah penduduk Blitar Selatan. Topengnya menyeramkan, bergambar wajah raksasa dengan mata melotot dan sepasang taring panjang dalam polesan warna hitam dan putih. Masyarakat menyebutnya sebagai topeng tetek melek (buruk rupa), simbol raksasa penguasa waktu yang mampu menghindarkan masyarakat dari segala keburukan. Saya pun bertanya kepada beberapa warga yang memasang topeng tersebut. Mereka bertutur bahwa tradisi memasang topeng tetek melek telah menjadi kewajiban saat menghadapi pagebluk sejak masa silam. Masyarakat Blitar Selatan meyakini bahwa topeng tetek melek mampu melindungi mereka dari ancaman pagebluk secara magis.
Menariknya, tradisi tersebut juga dilakukan oleh masyarakat di wilayah Tulungagung, sebagian Pacitan, dan Jember. Begitu lah kabar yang saya dapatkan dari kawan-kawan setelah mengunggah postingan tentang fenomena topeng tetek melek di media sosial. Saya pun menelusuri fenomena tersebut melalui internet dan mendapati puluhan berita yang mengabarkan fenomena tersebut. Rasa penasaran saya semakin membara. Saya mencari beberapa artikel ilmiah tentang penggunaan topeng tetek melek sebagai penangkal pagebluk. Sayangnya, saya belum mendapati artikel ilmiah yang dimaksud.
Saya tak berhenti begitu saja. Berbekal latar belakang mahasiswa arkeologi, saya membuka kembali materi kuliah saat semester awal mengenai fenomena pahatan kedok muka dan kepala kala. Banyak informasi berharga tentang kesamaan fungsi antara kedok muka dan kepala kala dengan topeng tetek melek yang saya dapatkan. Kedok muka merupakan pahatan yang berasal dari masa Neolitik, biasa ditemukan pada bagian ujung sarkofagus di Bali. Adapun mengenai pahatan kepala kala lazim ditemukan pada bangunan suci Hindu-Buddha pada masa Klasik hingga sekarang di Jawa, Bali, dan Sumatra. Kedok muka merupakan prototipe awal dari pahatan yang bermakna magis, sebagai pengusir roh jahat. Ketika pengaruh India datang ke Indonesia, pahatan tersebut berkembang menjadi kepala kala. Pahatan kepala kala dikenal sebagai ndas butho,tetek melek, dan banaspati di Jawa, serta karang bhoma di Bali.
Kedok muka pada sarkofagus dari Desa Keramas - Bali | sumber: BPCB Bali |
Tampaknya, antara pahatan kedok muka dan kepala kala dengan topeng tetek melek memiliki kesamaan fungsi magis. Ketiga jenis karya tersebut menjadi sarana manusia untuk memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari ganggunan roh jahat dan penyakit. Manusia sejak masa Prasejarah telah melakukan ritual berupa menggambar atau memahat organ manusia sebagai simbol magis untuk menjauhkan diri dari berbagai macam bahaya. Salah satu jenis organ yang sering digambarkan manusia adalah bagian muka. Hal itu sungguh menarik, sebab muka merupakan organ manusia yang pertama kali dilihat, menjadi pembeda antarindividu, serta bagian yang mampu menunjukkan berbagai ekspresi dari manusia.
Selanjutnya, masyarakat pada masa Klasik memiliki pemahaman bahwa karakter wajah manusia terbagi menjadi dua, yaitu tenang dan mengerikan. Karakter wajah tenang merupakan simbol dari kesucian, kewibawaan, dan kekuatan baik, sedangkan karakter wajah mengerikan merupakan simbol dari keberanian, keberingasan, dan kekuatan jahat. Walau begitu, ada karakter wajah jahat yang menjadi simbol pengusir dari kekuatan jahat. Ialah karakter pada wajah Batara Kala yang menjadi simbol dewa waktu dan pengusir roh jahat. Ia merupakan putra Batara Syiwa, digambarkan sebagai raksasa buruk rupa, dan bertugas menjadi penjaga gerbang kahyangan dewata dalam mitologinya. Oleh sebab itu, masyarakat Jawa pada masa Klasik menyimbolkan kepala Batara Kala dalam bentuk pahatan kepala kala pada ambang pintu gapura dan candi.
Kepala kala Candi Angka - Panataran | sumber: wikmedia.org |
Topeng tetek melek menjadi ikhtiar dari masyarakat Blitar Selatan dalam menghadapi pandemi covid-19. Mereka juga melakukan usaha menghadapi pandemi tersebut dengan penerapan protokol kesehatan yang cukup ketat, walau lokasinya di desa. Terlebih, masyarakat Blitar Selatan sebagian besar berprofesi sebagai petani dan peternak ayam. Lokasi pekerjaan mereka berada di sekitar tempat tinggalnya dan jarang bepergian jauh atau berkontak fisik dengan masyarakat luar daerah. Masyarakat memakai masker, melakukan pembatasan terhadap warga asing yang masuk ke desa, mendata orang yang bepergian ke luar daerah, meronda untuk menjaga keamanan desa, serta memasang topeng tetek melek di depan rumah. Segala upaya masyarakat Blitar Selatan dalam menghadapi pandemi covid-19 tersebut patut diacungi dua jempol, terlebih pada konsep kearifan lokalnya.
Posting Komentar