Oleh: Shofwatul Qolbiyah
Salah satu kekunoan Hindu-Buddha yang berada di Pulau Bali adalah Situs Goa Gajah yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar. Pura Goa Gajah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan nomor registrasi nasional CB694 dengan nomor SK 131/M/1998. Penemuan Situs Goa Gajah dilaporkan pertama kali oleh seorang pejabat Hindia-Belanda bernama L.C. Heyting pada tahun 1923. Dalam Kakawin Nagarakertagama pupuh 79 (saṅ bodḍāḍyaksa muṅwiṅ baḍahulu baḍahalwāṅ gajah tan pramāda), menyebutkan sebuah tempat bernama Badahulu, Badahalwan, dan Gajah yang merupakan tempat tinggal pelindung umat Buddha. Nama Gajah yang disebutkan setelah Badahulu kemudian diidentikkan dengan tempat Goa Gajah yang berada di Bedulu. Sementara Goris (dalam Hardiati dkk, 2010:369) berpendapat jika bangunan suci bernama antakuñjarapāda yang tertulis dalam Prasasti Dawan (975 S) merujuk pada bangunan Goa Gajah sekarang dengan pertimbangan kata ‘kuñjara’ memiliki persamaan arti gajah. Mengenai kapan didirikannya Goa Gajah belum diketahui secara pasti, namun Stutterheim (1929:125) mempunyai pendapat jika Goa Gajah berasal dari abad ke-11 berdasarkan kajian paleografinya.
Salah satu kekunoan Hindu-Buddha yang berada di Pulau Bali adalah Situs Goa Gajah yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar. Pura Goa Gajah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan nomor registrasi nasional CB694 dengan nomor SK 131/M/1998. Penemuan Situs Goa Gajah dilaporkan pertama kali oleh seorang pejabat Hindia-Belanda bernama L.C. Heyting pada tahun 1923. Dalam Kakawin Nagarakertagama pupuh 79 (saṅ bodḍāḍyaksa muṅwiṅ baḍahulu baḍahalwāṅ gajah tan pramāda), menyebutkan sebuah tempat bernama Badahulu, Badahalwan, dan Gajah yang merupakan tempat tinggal pelindung umat Buddha. Nama Gajah yang disebutkan setelah Badahulu kemudian diidentikkan dengan tempat Goa Gajah yang berada di Bedulu. Sementara Goris (dalam Hardiati dkk, 2010:369) berpendapat jika bangunan suci bernama antakuñjarapāda yang tertulis dalam Prasasti Dawan (975 S) merujuk pada bangunan Goa Gajah sekarang dengan pertimbangan kata ‘kuñjara’ memiliki persamaan arti gajah. Mengenai kapan didirikannya Goa Gajah belum diketahui secara pasti, namun Stutterheim (1929:125) mempunyai pendapat jika Goa Gajah berasal dari abad ke-11 berdasarkan kajian paleografinya.
Stutterheim (1925) dalam laporan kunjungannya menuliskan peninggalan yang ada di Goa Gajah terdiri dari empat bagian yang meliputi di dalam gua (arca ganesha, tri lingga, dan tulisan pada dinding gua); di depan gua (arca pancuran ganesha, tiga arca pancuran yang menggambarkan perempuan, dua arca pancuran menggambarkan laki-laki sebatas pinggang ke atas, dua arca raksasa, batu berbentuk mirip tempayan, dan pecahan yang berasal dari pahatan di atas mulut gua); di bagian halaman (arca pancuran perempuan); di bagian gedong (arca raksasa berduduk sila, arca ganesha, dan arca hariti/menbrayut). Selain temuan tersebut, pada sisi selatan gua seberang tukad terdapat patahan puncak stupa yang berbentuk payung bersusun 13 tingkat dan relief stupa bercabang tiga.
Di bagian luar gua, terdapat beberapa peninggalan yang tidak kalah menarik seperti petirtaan dengan enam pancuran air dari arca perempuan pada area kolam. Stutterheim (1929:124-125) berpendapat jika arca pancuran di Goa Gajah memiliki persamaan dengan arca pancuran yang berada di Petirtaan Belahan yang diperkirakan berasal dari abad ke-11. Hiasan kalung pada arca pancuran juga memiliki kemiripan dengan hiasan kalung pada arca garuda wisnu kencana yang tersimpan di Museum Mojokerto (sekarang Pusat Informasi Majapahit). Di bagian halaman gua terdapat gedong yang menyimpan arca raksasa, arca ganesha, dan arca hariti (wanita pemakan manusia yang setelah memeluk agama Buddha menjadi pelindung anak-anak).
Daftar Rujukan:
- Damaika, S., Widya, K., Aminullah, Z.P., Marginingrum, N., & Septi, N. 2019. Kakawin Nagarakertagama. Yogyakarta: Narasi.
- Hardiati, E.S., Djafar, H., Soeroso., Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Zaman Kuno. Dalam R.P. Soejono & R.Z. Leirissa. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Stutterheim, W.F. 1925. Voorlopige Inventaris der Oudheden van Bali. Halaman 150-170.
- Stutterheim, W.F. 1929. Oudheden van Bali. Bali: Kirtya Liefrinck Van Der Tuuk.
Salam Sigarda ✌️ Indonesia 🇲🇨
#KENALI
#CINTAI
#Bersama
#SINAU_CAGAR_BUDAYA
Posting Komentar