Pergundikan dalam Tangsi Militer Belanda
Kedatangan para serdadu di Hindia Belanda
telah membuat sejarah baru bagi dunia militer Tentara Hindia Timur, dalam depot
atau tangsi di Hindia Belanda inilah kehidupan militer di mulai, mereka mendapatkan
pelatihan dasar militer di tangsi sebelum ditugaskan di penjuru Nusantara.
Tangsi militer menjadi tempat berkumpul para serdadu Eropa, Pribumi, Maupun
Afrika. Mereka tinggal bersama dalam latar belakang kehidupan yang beragam di
dalam tangsi tersebut.
Tidak seperti serdadu yang direkrut di
Eropa maupun Afrika yang ketika direkrut berstatus bujangan. Serdaduserdadu
pribumi yang direkrut kebanyakan sudah berkeluarga. Demi memenuhi kebutuhan
besar atas tenaga serdadu maka para serdadu pribumi tersebut diberi izin untuk
memboyong serta keluarga mereka untuk tinggal di dalam tangsi. Tentu saja hal
ini memicu kemarahan serta iri oleh para serdadu Eropa dan juga serdadu pribumi
yang masih lajang lainnya, untuk mengatasi kericuhan ini akhirnya dengan beberapa
syarat mereka pun diizinkan hidup bersama tanpa pernikahan dengan perempuan
pribumi di dalam tangsi. Hal ini menandakan munculnya pergundikan tangsi di
Hindia Belanda.
Sumber Gambar: https://www.harapanrakyat.com/2021/11/gundik-era-kolonial-punya-suami-jual-diri-pada-serdadu-di-tangsi-militer/ |
Perempuan pribumi yang hidup dalam
pergundikan bersama anggota militer disebut sebagai Moentji. Sang perempuan
berperan sebagai pembantu, teman tidur, isteri, dan semua peran yang ada.
Bagaimana perempuan pribumi bisa menjadi Moentji seorang anggota militer, pada
awalnya perempuan-perempuan tesebut merupakan istri serdadu pribumi yang ikut
tinggal dalam tangsi tetapi kemudian sang suami meninggal untuk terus
mempertahankan kehidupannya akhirnya ia menjadi gundik serdadu Eropa. Selain
itu ada juga perempuan yang ditawarkan sebagai gundik oleh keluarga mereka hal
ini biasanya disebabkan kemiskinan yang merajalela terutama masyarakat yang ada
di pedesaan.
Moentji yang tinggal di dalam tangsi pada
umumnya merupakan perempuan yang kuat. Mereka dituntut kuat menghadapi perilaku
para serdadu Eropa yang umunya sangat kasar. Sang moentji dituntut untuk
melakukan banyak hal dalam tekanan. Belum lagi kecemasan akan lelaki yang
sedang pergi bertugas tidak ada kepastian yang pergi bertugas bisa pulang
dengan selamat. Seorang moentji yang ditinggal mati oleh tuannya harus angkat
kaki dari tangsi, oleh sebab itu agar bisa terus hidup mereka sering mencari
lelaki Eropa yang mau menjadikan mereka moentji lagi. Maka dari itu tidak
mengherankan bahwa seorang moentji bisa sampai bekali-kali berganti pasangan.
Hidup para moentji ini sepenuhnya berada
dalam genggaman lelaki Eropa mereka setiap hari hidup penuh dengan kecemasan
bahwa kapan saja bisa diusir oleh sang lelaki dari tangsi. Belum lagi masalah
kehamilan yang yang menjadi tanggungan mereka, terkadang mereka akan langsung
diusir oleh sang lelaki ketika sedang hamil. Kehadiran seorang anak akan
menyulitkan mereka untuk memulai kehidupan pergundikan yang baru, tidak mungkin
mereka kembali ke kampung halaman dengan membawa anak Indo-Eropa bersama
mereka. Kehidupan moentji yang menjadi bahan cemooh masyarakat tentu membuat
para moentji ini akan dikucilkan apabila kembali ke tengah masyarakat, karena
sebab itu banyak anak-anak yang ditelantarkan oleh kedua orangtuanya di dalam
tangsi.
Sumber : Sari, D., Susanto, H., & Ekwandari, Y. S. (2019).
Pergundikan dalam Tangsi Militer Belanda Tahun 1830-1918. PESAGI
(Jurnal Pendidikan dan Penelitian Sejarah), 7(5).
Posting Komentar