Oleh: Nur Ramadhani Abdillah
BERDIRINYA KESULTANAN BANTEN
Gambar 1. Lukisan Banten Lama | Sumber Wikipedia |
Kesultanan
Banten didirikan oleh Maulana Hasanuddin anak dari penguasa Kesultanan Cirebon
Syarif Hidayatullah atau lebih masyhur dikenal dengan Sunan Gunung Djati. Asal
usul nama Banten disebutkan pada naskah Carita Parahyangan yang
menyebutkan adanya ssebuah daerah yang disebut dengan Wahanten Girang yang di
hubungkan dengan nama Banten. Pada masa Hindu-Buddha Banten merupakan wilayah
dari Kerajaan Sunda, lokasinya tidak jauh dari Pakuan Padjajaran.
Asal-usul
daerah Banten dikaitkan dengan dua kata, yaitu Wa hanten, yang
merupakan nama kota lama terletak agak ke pedalaman. Dan Bantahan, yang
berarti suka membantah, memberontak, kiranya dikaitkan dengan sejarah daerah
ini sejak akhir abad ke-17 yang selalu melawan atau memberontak
terhadap penjajah (Belanda). Pada cerita tradisi Tambo Tulangbawang disebutkan
bahwa Mang Wang, Maharaja Bulugading dari Tiongkok memesan cula badak
putihdari Medanggili, dan cula badak itu bisa didapatkan di Ujung
Wahanten (Lubis, 2000:100).
Dalam
laporan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota Pelabuhan
yang ramai dan berada di Kawasan Sunda (Cortesao, 1944). Banten memiliki posisi
strategis dalam pelayaran laut internasional. Tatkala Kesultanan Malaka
dikuasai oleh Portugis, diaspora pedagang muslim terjadi, para pedagang itu
berbondog-bondong pindah ke Banten. Disisi lain hal itu menguntungkan Banten,
dimana banyak kapal-kapal dagang asing yang datang dari luar dari dan menuju ke
arah barat laut, melalui Selat Bangka (Ekadjati, 1995:97).
Pada
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, dikisahkan tentang usaha
Syarif Hidayatullah bersama 98 orang muridnya mengislamkan penduduk Banten.
Secara perlahan-lahan, islam dapat diteria masyarakat sehingga banyak orang
masuk Islam, bahkan penguasa Banten saat itu merasa tertarik dengan ketinggian
ilmmu dan akhlak Syatif Hidayatullah, menikahkan adiknya yang Bernama Nyai
Kawunganten, dengan wali penyebar Islam di Tatar Sunda. Dari pernikahan ini
lahirlah dua anak yang diberi nama Ratu Winahon dan Hasanuddin.
Dalam Babad Banten,
ketika Syatif Hidayatullah pulang ke Cirebon ia memerintahkan anaknya
Hasanuddin untuk terus mengislamisasikan wilayah Banten, dengan berdakwah dari
satu daerah ke daerah lain. Singkatnya mayoritas wilayah Banten berhasil
diislamisasikan oleh Maulana Hasanuddin, dan menandai babak baru. Pada
masa awal-awal Kesultanan Banten beribukota di pedalaman Banten Girang, namun
atas saran dari Sunan Gunung Djati, ke dekat pelabuhan Banten pada 1 Muharram
933H atau bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 (Michrob dan Chudari,
1993:61).
Dalam
pemindahan ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Djati menentukan posisi dalem (istana),
benteng, pasar, dan alun-alun yang harus dibangun di dekat kuala Sungai banten
yang kemudian diberi nama Surosowan. Pemindahan itu dilakukan
bukan tanpa alas an, sebab melihat dari geografis wilayah Surosowan lebih mudah
dijangkau serta strategis tidak terlalu jauh dan dekat dari pelabuhan Banten,
yang mana hal ini nanti akan menjadi berdampak pada pertumbuhan ekonomi
Kesultanan Banten.
Gambar 2. Masjid Agung Banten | Sumber: Tripnus |
Pada
masa Maulana Hasanuddin Keraton Surosowan dibangun atas saran dari ayahandanya.
Singkatnya setelah mangkatnya Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf putra
sulungnya, melanjutkan pembangunan keraton Surosowan dengan membangun tembok
benteng dan pintu gerbang keraton yang terbuat dari batu dan karang. Pada masa
pemerintahannya, ia sangat menekankan pada pengembangan kota, keamanan wilayah,
perdagangan, dan pertanian. Walaupun satu sisi Maulana Yusuf tetap melanjutkan
politik ekspansi dari ayahandanya.
Pembangunan
Keraton Surosowan mengalami perluasan serta perkembangan dari masa Maulana
Hasanuddin sampai pernah dihancurkan pada konflik internal Sultan Ageng
Tirtayasa dengan Sultan Haji. Pada tahun 1680-1681 Keraton ini dibangun kembali
oleh Sultan Haji dengan dibantu arsitek Belanda Bernama Hendrick Lucszoon
Cardeel. Para peneliti Belanda menyebut Keraton Surosowan dengan istilah “Fort
Diamond” atau Kota intan.
Mengkaji
dari letak geografis, Bante berada di ujung barat pesisir utara Jawa, Berkat
pemindahan ibukota dari pedalaman ke pesisir, pelabuhan Banten menjadi bandar
besar sebagai tempat persinggahan utama dan penghubung antara pedagang dari
Aceh, Parsi, India, Cina, dan negara-negara di Nusantara (Soedjono, 2016:67).
Wilayah kesultabab kekuasaan Kesultanan Banten sejak tahun 1570 hingga 1670
meliputi daerah Jayakarta (yang lepas ke tangan VoC sejak 1619), seluruh
provinsi Banten, dan sebagian besar daerah Lampung.
KERATON SUROSOWAN DI MASA AWAL
Keraton
merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan.
Layaknya keraton pada umumnya di Jawa, keraton Surosowan juga memiliki makna
ganda, yakni sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta
perangkat kerajaan lainnya, dan sebagai pusat kerajaan. Kerato dipandang
sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan (replika) alam semesta
(Behrend, 1982:179-172).
Mengikuti
pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, keraton Surosowan juga
merupakan pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak di sebelah Utara
keraton, masjid Agung Banten disebelah barat keraton, pasar Karangatu di
sebelah timur, dan pelabuhan berada di sebelah utara (R.Cecep, 2004:114).
Gambar 3 Tampak depan Keraton Surosawan | Sumber: Krakatauaudio.com |
Keraton
Surosowan diperkirakan dibangun setelah pemindahan ibukota dari Banten Lama, ke
pesisir. Keraton Surosowan diduga bukanlah tempat tinggal sultan Banten yang
pertama melainkan masih bertempat tinggal di Karangatu. Diperkirakan antara
tahun 1552 – 1570 M adalah saat pembangunan istana di Banten Lama. Dimasa
Sultan Maulana Yusuf diperkirakan mulai difokuskan pembangunan secara masif
terhadap Keraton Surosowan.
Diduga pada masanya tersebut
keraton Surosowan dijadikan tempat tinggal bagi para seluruh keluarga
Kesultanan Banten.
ILUSTRASI DESKRIPTIF KERATON SUROSOWAN
Mengutip
dari situs Kemendikbud, keraton Surosowan dibangun melalui empat fase.
Disebutkan bahwa dinding keraton Surosowan tingginya sekitar dua meter, lebar
lima meter. Panjang pada bagian Timur-Barat adalah 300 meter, sedangkan pada
bagian Utara-Selatan adalah 100 meter. Secara keseluruhan luas yang dibentengi
adalah 3 hektar. Disetiap sudutnya terdapat bastion yang berbentuk intan dan
ditengah dinding Utara dan Selatan terdapat proyeksi setengah lingkaran.
Pada
transisi dari fase pertama menuju fase kedua terjadi transformasi pada
perubahan fungsi dinding dari tembok keliling kemudian menjadi tembok pertahanan
ala Eropa. Pembangunan fase ketiga adalah tahap pendirian kamar-kamar
disepanjang dinding Utara dan penambahan lantai guna mencapai dinding penahan
api. Fase terakhir dilakukan perombakan pada gerbang Utara dan juga mungkin
gerbang Timur.
Gambar 4. Diduga tempat pemandian keluarga Sultan | Viva.co.id |
Pada
bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berawarna
hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang
di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan).
Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman bernama Bale Kambang Rara
Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran
mas”.
Gambar 5. Diduga tembok dan pintu ke dalam Keraton | Sumber: Indonesiakaya |
Keraton Surosowan sempat
mengalami kehancuran ketika perselisihan antara kelompok Sultan Abu Nasr Abdul
Kahar atau Sultan Haji, yang dibantu VOC melawan kelompok ayahnya Sultan Ageng
Tirtayasa. Pasca pertempuran itu, Keraton Surosowan kembali dibangun oleh
Sultan Haji di atas puing-puing keraton Keraton Surosowan lama yang sudah rata
dengan tanah.
Pembangunan keraton ini dibantu
oleh arsitek Belanda bernama Hendrick Lucaszoon Cardeel pada tahun 1680-1681.
Menurut versinya arsitek Hendrick Lucaszoon ini membangun keraton Suroswan
ketika memeluk agama islam dan ia bergelar Pangeran Wiraguna. Terlepas dari
kebenaran versinya, yang pasti pembangunan Keraton Surosowan dibangun olehnya.
MALAPETAKA BANTEN DARI DAENDELS
Kedatangan Daendels ke Nusantara
tidak lepas dari situasi politik di Eropa. Pada 2 Desember 1804 Napoleon
mengangkat dirinya sebagai Kaisar Perancis dengan dinobatkan sebagai kaisar
oleh Paus Pius VII. Belanda dikala itu menjadi korban dari keganasan pasukan
Napoleon. Pada tahun 1805 Perancis berhasil menaklukan Belanda, dan dampaknya
dari penguasaan tersebut pada tahun 1808 Herman William Daendels dikirim ke
Indonesia guna menjadi Gubernur Jenderal.
Atas perintah Louis Bonaparte
adik dari Napoleon Bonaparte, tugas utama Daendels adalah mempertahankan Pulau
Jawa dari Inggris yang ketika itu merupakan musuh dari Perancis. Mula-mula
kedatangan Daendels adalah membangun integrasi sarana-sarana antara satu
wilayah ke wilayah lain, guna memudahkan kebutuhan mobilitas pemerintah. Salah
satu yang masyhur proyek bikinannya adalah jalan raya Anyer – Panarukan.
Dalam satu narasi ketika Sultan
Banten saat itu Sultan Aliudin disuruh memerintahkan pusat kekuasaannya ke
Anyer, dikarenakan Surosowan akan dijadikan sebagai benteng pertahanan. Namun
Sultan Aliudin tidak setuju, dan menyebabkan Daendels murka. Diam-diam Daendels
memerintahkan penangkapan atas Sultan, dan ia mengirimkan pasukan secara berangsur-angsur
guna menghancurkan Surosowan.
Gambar 6. Tembok depan menghadap kanal Keraton | Sumber: Indonesiakaya
Daendels lalu mengirim utusannya
untuk memberitakan kepada Banten, namun karena sudah sangat membenci pasukan
Belanda, ututsan tersebut di bunuh oleh pasuka oengawal Keraton Suroswoan. Pada
tanggal 21 November 1808 Daendels memerintahkan serangan agar menghancurkan
keraton Surosowan. Singkatnya serangan dadakan dari Daendels tidak bisa
dipertahankan, Keraton Surosowan akhirnya hancur berkeping-keping.
Gambar 7. Diduga salah satu gerbang menuju dalam wilayah Keraton | Sumber: Kompas.id
Sayangnya kehancuran Keraton
Surosowan tidak dibangun kembali sampai hari ini. Puing-puing yang tersisa
hanya menjadi kenangan dan bukti tanpa bisa kita bayangkan betapa agung, nan
indah keraton itu.
Daftar Pustaka
Nina H. Lubis, dkk., SEJARAH BANTEN MEMBANGUN TRADISI DAN PERADABAN., (Badan Perpustakaan dan Arsip
Daerah Provinsi Banten, 2014).
Posting Komentar