Oleh: Muhamad Abdu |
Pada
masa lalu masyarakat Solo membuang sampah rumah tangga, air limbah (dapur,
kamar mandi, industri rumah tangga) bahkan juga BAB di sepanjang Kali Pepe. Kali
Pepe yang terletak pada permukiman padat, dianggap menjadi saluran pembuangan
gratis yang telah disediakan alam. Sementara itu, masyarakat juga memanfaatkan
Kali Pepe diambil airnya untuk minum dan memasak, serta untuk mandi dan mencuci
pakaian. Karena Kali Pepe sudah sangat tercemar, masyarakat tidak dapat
memenuhi kebutuhan air bersih. Hal ini karena sumur dan WC hanya dapat
dinikmati oleh kalangan tertentu seperti pejabat Kolonial Belanda dan
bangsawan.
Permasalahan yang
terjadi kala itu membuat KGPAA Mangkunegoro VII (1916 – 1944) membangun jamban
umum pada tahun 1936 di Kampung Ngebrusan Kelurahan Stabelan Kecamatan
Banjarsari Kota Surakarta. Dahulu dikenal dengan nama Badplaats Ngebrusan.
Namun, masyarakat setempat lebih mengenalnya dengan nama ponten. Ponten yang
mungkin berasal dari cara mayarakat setempat mengucapkan kata mancur. Bangunan
ini dirancang oleh arsitek Belanda Thomas Karsten pada tahun 1936 dengan gaya perpaduan
arsitektur modern dan tradisional (Kusumastuti,
2015: 30).
Gambar 1: KGPAA Mangkunegoro VII Sumber: Wikimedia.org |
Bangunan Ponten ini
dibangun menghadap kearah selatan, bangunan dibangun dengan menggunakan batu
bata plesteran dengan menggunakan hidrolik mortar. Bangunan ponten secara garis
besar terdiri dari tiga bagian dan terpisah antara bagian kamar mandi untuk
laki-laki (sisi timur) dan perempuan (sisi barat). Bangunan memiliki ukuran 8 x
12 m dengan tangga masuk disisi kanan/timur dan kiri/barat bangunan. Pintu
masuk sisi barat menghubungkan dengan 2 ruang yaitu ruang mencuci yang terletak
di depan dan ruang mandi serta kakus yang terletak di sisi barat bangunan untuk
MCK perempuan, sedangkan sisi timur merupakan MCK pria (Omar Mohtar, 2019: 51).
Gambar 2: Potret Kakus yang terdapat di Ponten Mangkunegaran Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Ruang depan berukuran
4,5 x 2,5 m terdapat pipa-pipa pancuran air yang mengalirkan air dari bak
penampungan di atas untuk keperluan mencuci. Ruangan ini pada bagian depan
dibatasi dengan pagar setinggi 1-1,5 meter. Pada ruangan ini terdapat selasar
panjang sebagai tempat mencuci komunal dengan beberapa pancuran di atasnya.
Pada dinding bagian atas terdapat 2 pancuran air limpasan dari bak dan sebuah
jaringan penerangan (lampu), sehingga kegiatan mencuci juga dapat dilakukan
pada malam hari (Omar Mohtar, 2019: 51).
Pada ruang mandi sisi
barat terdapat dudukan (tempat duduk) memanjang dengan beberapa pipa diatasnya,
sedangkan pada sisi timur terdapat 3 buah dudukan yang diatasnya juga terdapat
pipa pancuran. Air yang dipergunakan di bangunan ini dialirkan melalui sebuah
pipa besi yang berada di depan bilik jamban yang menurut beberapa sumber tidak
menggunakan air sumur melainkan dari mata air dari daerah Cakra Tulung (Klaten)
yang dialirkan oleh perusahaan air, NV Hoodgruk Water Laiding Hoodplaast
Surakarta En Omstreken (Omar Mohtar, 2019: 52 – 53).
Gambar 3: Potret bekas Pancuran yang terdapat di Ponten Mangkunegaran Sumber: Dokumentasi Pribadi |
Pembangunan ponten mendapatkan
hasil yang baik dengan menyadarkan akan kebersihan lingkungan dan tentu adab
kesopanan yang lekat dengan budaya Timur. Beberapa penyakit yang sebelumnya
banyak diderita oleh masyarakat dari pencemaran terhadap Kali Pepe menjadi
berkurang. Ponten Mangkunegara VII merupakan bukti perubahan budaya yang
berdampak bagi masyarakat luas (Omar Mohtar, 2019: 52 – 53).
Daftar Rujukan:
- Kusumastuti. (2015). Ponten Mangkunegaran Sebuah Tinjauan Sejarah Tentang Revolusi Hidup Bersih dan Sehat Bagi Rakyat. Region. Vol. 6 (1). Hal. 28-33.
- Mohtar, Omar. (2019). Ponten Mangkunegara VII Kestalan: Menilik Gaya Hidup Sehat Masa Lalu. Buletin Cagar Budaya. Vol. 7 (1). Hal. 48-53.
Posting Komentar