Penulis: Nur Ramadhani Abdillah
·
Sebelum berdirinya Kesultanan
Banten, di masa Hindu-Budha Banten adalah kerajaan bernama Wahanten Girang dan
merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Hal ini dibuktikan oleh temuan arkeologis
yakni patung Ganesha dan patung Siwa di lereng Gunung Raksa (Michrob &
Chudori, 2011:73). Meski demikian
menurut tradisi lisan persebaran islam di Wahanten Girang telah dimulai sejak
kedatangan Ki Tengger Djati pada tahun 1412.
Ki Tengger Djati adalah seorang menak galuh kawali yang membuka lahan
dan menempati daerah setelah mendapatkan izin dari penguasa Wahanten Girang.
Kala itu ia membuat tempat ibadah kecil untuk dirinya melaksanakan ibadah. Kemudian
datanglah warga Wahanten Girang beberapa warga Wahanten Girang, sehingga
terbentuklah komunitas sosial saat itu. Satu-satunya jalur yang dapat mencapai
Kalipasir adalah melalui sungai Cisadane.
Perlahan-lahan islam mulai
berkembang di Kalipasir dan tersebar ke beberapa wilayah sekitarnya. Kemenangan
Maulana Hasanudin dari Sunda (kelak menjadi raja pertama Kesultanan Banten)
membuatnya mutlak menjadi penguasa Wahanten Girang. Maulana Hasanudin kemudian
mengganti nama Wahanten Girang menjadi Banten.
Sedangkan dalam naskah Carita Parahyangan disebutkan adanya
daerah bernama Wahanten Girang yang terletak di sebelah Timur dari Pakuan Pajajaran. Beberapa sejarawan
menafsirkan bahwa wilayah dimaksud adalah Banten. Dari catatan asing Banten
dideskripsikan oleh laporan Tome Pires yang menggambarkan bahwa Banten
merupakan kota pelabuhan yang strategis dan ramai yang berada di wilayah Sunda.
Kedatangan Maulana Hasanudin di Banten pada tahun 1500-an, membuat Banten
berkembang menjadi wilayah politik dan nama kesultanan yang bercorak islam
(Sugiri, 2013:142).
Narasi berbeda diceritakan oleh Babad Banten. Pada naskah tersebut
diceritakan bahwa islamisasi Banten dilakukan dengan cara halus. Melalui
keluhuran budi pekertinya Maulana Hasanuddin berhasil mengislamkan 800 orang
pertapa/resi dan juga para pengikutnya. Sehingga di Banten telah terbentuk satu
masyarakat islam di antara penduduk pribumi yang memeluk ajaran nenek moyang,
antara lain Sunda Wiwitan
(Djajadiningrat, 1983:161)
· SEJARAH BERDIRINYA MASJID JAMI’ KALIPASIR
Secara etimologis, masjid diambil dari kata dasar sajada
yang artinya telah bersujud. Sementara kata masjid (masjidun)
memiliki kedudukan sebagai isim makan yang berarti tempat bersujud Maka masjid dapat didefinisikan
sebagai suatu bangunan yang didirikan secara khusus sebagai tempat beribadah
umat islam kepada Allah Ta’ala, khususnya untuk menunaikan sholat. Masjid mulai
mengalami perkembangan dari masa ke masa. Selain dipergunakan sebagai tempat
beribadah, masjid juga dipergunakan sebagai tempat halaqoh berdiskusi, mempelajari ilmu-ilmu dan berpolitik.
Hal ini senada dengan Masjid Jami’
Kalipasir yang jika diamati sejak awal berdirinya hingga sekarang digunakan
sebagai tempat ibadah dan mengaji. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan
dengan narasumber Roufi Syairofi selaku Tim Bidang Cagar Budaya Masjid
Kalipasir (15/12/2023) bahwasanya masjid ini dibangun pada tahun ke 1412 ketika
datangnya Ki Tengger Djati ke wilayah Kalipasir. Menurut tradisi lisan masjid
ini terlebih dahulu eksis ketibang Kesultanan Banten.
Jika menilik dari penuturan
narasumber bahwasanya masjid ini memang dulunya hanya memiliki empat tiang.
Masyarakat disitu percaya bahwa salah satu kayu yang menjadi pilar di masjid
itu merupakan pemberian dari Sunan Kalijaga. Namun asumsi tersebut perlu
pengekajian lebih lanjut. Apabila diilustrasikan akan tampak gambaran seperti
pendopo tanpa dinding. Kemudian di masa Pangeran Yusuf masjid ini mengalami
renovasi namun dengan tetap mempertahankan pilar empat kayu tersebut. Adapula
narasi lain yang masih merujuk dari tradisi lisan bahwasanya bangunan masjid
didirikan pada tahun 1576.
Letaknya yang strategis di tepi
sungai Cisadane membuat animo masyarakat dan para pedagang singgah lalu
melahirkan pola interaksi masyarakat. Transformasi wajah Masjid Kalipasir terus
terjadi dari dibangunnya Benteng Speelwijk di Banten Lama (terletak di sebelah
Utara dari Masjid Jami’ Kalipasir) hingga kejatuhan Kesultanan Banten pada
tahun 1813.
Apabila merujuk kronik dari salah
satu sumber Nyukcruk Galur Mapay
Petilasan Tangerang-Banten bahwasanya diterapkan masa transformasi masjid
yang pernah dilakukan. Merujuk pada catatan tersebut masjid ini mengalami
renovasi terakhir pada tahun 1961, yang diprakarsai oleh Hasbullah bin Abdul
Kadir, dan Nyi Ratu Hj. Murtafiah binti K.H. Asnawi (Syekh Asnawi).
·
DESKRIPSI BENTUK BANGUNAN MASJID
Masjid Jami’ Kalipasir terletak di
Jalan Kalipasir, Rt.02/Rw. 004, Sukasari, Kec. Tangerang, Kota Tangerang,
Banten. Akses menuju masjid ini sangat terjangkau dari transportasi umum.
Apabila ingin mengunjungi masjid ini dapat turun di Stasiun Tangerang, lalu
dilanjut dengan berjalan kaki sejauh 800 meter melewati wilayah Pasar Lama,
Museum Cina Benteng dan Klenteng Boen Tek Bio.
Lalu jika diamati keunikan dalam
bagian masjid adalah terdapatnya 11 kolom yang berbentuk setengah lingkaran.
Kolom itu terbagi menjadi lima di bagian selatan dan enam di bagian timur. Lalu
mihrab dan mimbar yang terpisah dan terlihat seperti lorong. Menurut penuturan
narasumber dan warga sekitar, mereka meyakini bahwa lorong tersebut digunakan
untuk bertafakur para Ulama.
Gambar. 4: Pintu masuk masjid yang
tampak seperti Gapura | Dok. Arel Fariq
Beralih ke struktur bangunan masjid
lainnya, di dekat tempat wudhu sebelah utara masjid terdapat kusen pintu masuk
yang terbuat dari kayu dan diasumsikan merupakan bentuk lama masjid. Desain
yang seperti gapura itu disinyalir juga merupakan bentuk bangunan lama masjid
saat dipugar oleh Pangeran Yusuf.
Kemudian jika melihat menara masjid, akan nampak seperti pagoda seperti perpaduan antara unsur Tionghoa dan Islam. Namun jika diamati secara saksama menara masjid ini, gaya menara masjid ada unsur dari timur tengah seperti menara masjid yang berada di Tarim, Hadramout, Yaman. Unsur kemiripan tersebut dapat diamati dari gaya jendela yang terdapat di menara masjid. Menara masjid ini dibangun pada tahun 1904. Selanjutnya jika diperhatikan pada bagian atap masjid akan terlihat seperti tumpeng dan diatasnya ada mastaka yang bergambar merak dan mahkota.
Beranjak ke sisi depan masjid,
terdapat beberapa makam kuno yang akan penulis bahas pada sub selanjutnya.
Meskipun masjid ini sudah terdaftar sebagai cagar budaya kota Tangerang, namun
perlu adanya pengkajian lanjutan terkhusus kajian arkeologis lebih dalam
tentang empat pilar kayu masjid yang menurut narasumber dan juga warga sekitar
telah ada sejak abad ke 15.
·
MENILIK MAKAM KUNO DI
BELAKANG MASJID
Menurut Damais (1957) kata nisan
berasal dari bahasa Sanskerta mahisa yang
artinya kerbau. Pendapat ini berdasarkan kebiasaan masyarakat prasejarah yang
menegakkan batu semacam menhir dan pemotongan kerbau pada upacara kematian dan
setelah upacara kematian itu selesai batu itu ditinggalkan (Damais, 1957:359).
Salah satu bentuk peninggalan
keberadaan islam di Nusantara adalah dengan adanya makam-makam kuno. Makam
islam di Indonesia biasanya berbentuk persegi panjang dengan arah lintang
utara-selatan dan terdiri dari bangunan bawah yang dikenal dengan kijing atau
jirat dan bangunan atas dikenal dengan nama nisan atau maesan dan cungkup (Romli, 1987:122).
Gambar. 8: Kondisi makam saat
penulis dan dokumenter mengunjungi masjid | Dok. Arel Fariq
Adapun tokoh-tokoh yang dimakamkan di area pemakaman ini adalah Syekh Ramdan atau Tumenggung Aria Ramdan, Tumenggung Aria Wijaya, Tumenggung Aria Satudilaga, Syaikh Ahmad, Nyai Ratu Murtafiah, Istri Sultan Surya/Sultan Ageng Tirtayasa, dan lainnya. Adapun corak makam ini mirip seperti gaya makam Aceh. Selain itu hal yang menarik mata penulis adalah ukiran yang terdapat di nisan-nisan kuno tersebut bercorak bunga dan matahari.
DAFTAR PUSTAKA
Damais L, C.H. Etude Javanaises Les Tombes Musulmanes, Datées de Tralaya. Befeo
XLVIII Jilid 2. Paris, 1957.
Djajadiningrat, Hoessein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten.
Jakarta, 1983.
Hendola, Feby. Nilai Masjid Jami Kali Pasir Sebagai Sebuah Bangunan Cagar Budaya:
Pengamatan Seorang Pejalan Kaki. Ciputat, 2018.
Michrob, dkk. 2011. Catatan Masa Lalu Banten. Serang.
Romli, Inajati. 1987. Konsep Keindahan dalam Keislaman. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.
Posting Komentar