Masa Hindu-Buddha bagi kebanyakan kita berisi pembahasan isu-isu politik yang menegangkan. Narasinya lazim mengulas kontestasi dan pencapaian kejayaan berbalut politik religi. Hal-hal berat tentang kebijakan pemerintah hingga filsafat agama seringkali kita jumpai dalam berbagai bentuk pemikiran dan diskusi. Namun, pernahkah kita berimajinasi hal-hal ringan penuh makna, seperti multikulturalisme?
Akhir-akhir ini, banyak sekali saya jumpai pertikaian antarsuku kita di media sosial. Temanya mengusung kejayaan nenek moyang. Entah antara suku Sunda dengan Jawa, Melayu dengan Sunda, atau Melayu dengan Jawa, dan lainnya.
Sebut saja klaim bahwa Sriwijaya mengekspansi Sunda melalui bukti satu bait pendudukan di bhumi jawa dalam prasasti Kota Kapur, kemudian diseretkan pada bukti prasasti Kebon Kopi II yang menggunakan beberapa kosakata Melayu. Data tersebut menjadi framming narasi kejayaan untuk menjatuhkan suku lain.
Lalu, terdapat pula buah pertikaian dari narasi bahwa raja-raja Jawa yang mewariskan tinggalan candi dan arkeologi monumental nan banyak, bernenek moyang orang Sunda, dengan dasar kitab Wangsakerta dan Carita Parahyangan.
Tak pelak, counter pun dilayangkan. Naskah Negarakertagama menjadi alat untuk menunjukkan ekspansi raja-raja Jawa ke pulau lain. Hal ini menjadi isu yang dianggap serius. Saya membaca berbagai komentar “berdarah-darah” hingga bernada amarah oleh para netizen.
Pada akhirnya, pertikaian membawa nenek moyang sebab difusi budaya ini hanyalah “framing” dengan tujuan glorifikasi dari pengikut primordialisme, membanggakan daerahnya.
Namun jangan lupa! Mengapa bangsa kita disebut bangsa Indonesia? Mengapa kita berbahasa Indonesia? Mengapa pendiri bangsa kita mengambil lambang negara garuda dan semboyan bhinneka tunggal ika dari kakawin Jawa. Lalu juga mengapa pakaian nasional kita berkebaya dan berpeci?
Semua itu adalah usaha mewujudkan rasa kesatuan dan persatuan kita. Kita telah bersatu sejak lama dan budaya kita terjalin harmonis. Bahasa Indonesia merupakan pengembangan dari bahasa Melayu Riau, serta pengembangan dari akar bahasa Melayu Kuno yang digunakan masyarakat Sriwijaya. Bahasa ini menjadi bahasa penghubung dalam perdagangan dan komunikasi maritim bangsa kita sejak lama hingga menjelang kemerdekaan RI.
Garuda menjadi simbol Dewa Wisnu yang dipercaya sebagai pengayom oleh moyang kita. Simbol ini dengan berbagai variasi, nyatanya digunakan oleh berbagai kerajaan di Indonesia, seperti Ternate, Jailolo, Bima, Samudra Pasai, Luwu, Yogyakarta, Sintang, Skala Brak, Sumedang Larang, dan mungkin beberapa lagi yang saya belum ketahui. Simbol-simbol yang marak digunakan para raja di Nusantara tersebut, kemudian mengilhami pendiri bangsa untuk menciptakan rasa persatuan dengan mengadopsi simbol yang telah umum, Garuda.
Pakaian tradisional kebaya bagi perempuan dan peci bagi laki-laki juga merupakan simbol penting terhadap difusi budaya. Kebaya menurut satu versi berasal dari Arab, namun memiliki kedekatan bentuk dengan baju wanita Tiongkok. Peci juga merupakan kreasi baru dari mimesis kopyah Persia dan India. Identitas tersebut menjadi tren pakaian masyarakat kita hingga menjelang periode kemerdekaan Indonesia.
Apa yang dapat kita simpulkan dari narasi tersebut? Para pendiri bangsa kita telah berusaha mewujudkan simbol-simbol negara Indonesia melalui gejala budaya yang dimiliki bersama, bukan hanya mewakili satu suku saja.
Lalu, pernahkah kita berimajinasi, mengapa simbol-simbol tersebut lazim digunakan oleh banyak suku kita hingga menjelang kemerdekaan?
Kesamaan budaya tersebut merupakan bagian dari difusi budaya. Bangsa kita memang multikultur sejak lama. Multikulturalisme telah terjalin sejak masa Hindu-Buddha, bahkan mungkin sejak era Prasejarah.
Difusi budaya Melayu hingga ke Jawa dan Kalimantan pada abad VII-X, ditandai temuan prasasti berbahasa campuran Melayu Kuno dan Jawa Kuno di Bogor Jawa Barat, pesisir Jawa Tengah bagian utara dan Candi Laras di Kalimantan Selatan.
Difusi budaya Jawa menyebar ke Sumatra, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara pada abad XIV-XVI, ditandai temuan prasasti, arca, dan candi di Sumatra Barat, Jambi, Kalimantan Barat, Lombok, dan Bima.
Difusi budaya semakin kompleks pada masa Islam. Jaringan perdagangan Nusantara sangat aktif, dituliskan dalam berbagai sumber sejarah tradisional hingga internasional. Persebaran berbagai tipe nisan tipe Aceh, Jawa, dan Bugis-Makassar juga mengilhami kreasi berbagai nisan di Nusantara. Dakwah Islamisasi juga masif, disamping transaksi perdagangan yang turut membawa pertukaran budaya. Jika kita berkaca dari fenomena ini, maka akan menjadi lebih bijak dalam menyikapi difusi budaya.
Pada akhirnya, tulisan ini bermuara pada “bukan klaim nenek moyang siapa yang paling kuat, melainkan sejauh mana nenek moyang kita menjalin kontak hingga persahabatan di Nusantara”. Jika kita dalami satu persatu momen-momen tersebut, niscaya akan mengantarkan kesadaran kita terhadap pengetahuan tentang upaya persatuan dan saling menghormati budaya antarsuku di negeri kita tercinta, Indonesia.
Gambar 2. Kerukunan Antar Suku mengenakan Pakaian Adat Daerah Sumber: greatnesia.id |
Posting Komentar